“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (al-Infitaar [82] : 13-14).
Jika hati tidak terpaut dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), ke mana lagi muaranya kalau bukan menuruti hawa nafsu. Apalagi bagi orang yang berkantong tebal, banyaknya harta berbanding lurus dengan banyaknya jenis dan frekuensi maksiat yang dilakukannya.
Naluri manusia pasti ingin menempuh cara untuk mendapatkan kenikmatan, menjauh dari suasana yang membosankan dan menyusahkan. Sementara kebanyakan manusia menyangka bahwa kenikmatan itu terletak pada harta yang bisa dihamburkan sesukanya, atau ketika mampu memuaskan hasrat perut dan syahwat.
Para pemburu kenikmatan pun berkerumun ke medan-medan seperti itu. Mereka menjauh dari syariat, karena dianggap hanya menjanjikan kenikmatan akhirat yang tidak instan, sementara di dunia harus rela hidup susah dan menderita.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya al-Jawaabul Kaafi menegaskan, “Jangan Anda sangka bahwa apa yang difirmankan Allah itu terbatas pada nikmat akhirat dan jahim neraka saja, bahkan hal itu berlaku di tiga alam, yakni di dunia, di barzakh dan di daarul qarar.”
Nikmat Dunia Bagi yang Berbakti
Tak ada yang mampu mengenyam nikmat dunia melebihi orang-orang yang taat. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW) menyebutkan bahwa dunia adalah penjara orang mukmin, itu tidak menunjukkan bahwa mereka menderita di dunia. Apa yang dialami oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, penulis Fathul Baari Syarah dari Shahih al-Bukhari, barangkali bisa menjadi penerang bagi kita tentang Hadits Nabi tersebut,
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (Riwayat Muslim).
Suatu hari, dengan mengenakan pakaian yang pantas, beliau menaiki baghal yang layak. Beliau berpapasan dengan seorang Yahudi penjual minyak samin. Bajunya belepotan minyak, nampak sebagai seorang yang susah hidupnya. Si Yahudi bertanya kepada Ibnu Hajar, “Apakah tidak salah apa yang dikatakan oleh Nabi kalian, “Dunia itu adalah penjara bagi orang Mukmin dan surga bagi orang kafir? Mengapa saya (yang kafir) demikian sengsara hidupku, sedangkan Anda yang Mukmin, demikian layak hidupnya.”
Ibnu Hajar menjawab, “Selayak apapun keadaan dunia saya, tetap menjadi penjara bila dibandingkan dengan kenikmatan yang disediakan oleh Allah di akhirat bagi orang-orang yang beriman. Karena kenikmatan dunia tidak sebanding dengan kenikmatan akhirat sebagaimana sabda Nabi SAW “Sungguh tempat cambuk di jannah itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Adapun Anda wahai Yahudi, sesengsara apapun hidup Anda di dunia, itu laksana surga bila dibandingkan dengan penderitaan dan siksa yang dijanjikan kepadamu jika mati dalam keadaan kafir.” Merindinglah si Yahudi itu, seakan hatinya berbicara, “Jika surgaku seperti ini, lantas seperti apa neraka untukku nanti?” Hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk Islam.
Makna penjara orang Mukmin adalah, setiap Mukmin terpenjara karena terhalang untuk melampiaskan syahwatnya di tempat yang haram, terbebani untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Namun ketika dia mati, maka lepaslah ini semua, berganti dengan apa yang dijanjikan Allah Ta’ala untuknya berupa kenikmatan yang kekal, kesenangan yang tak ada sedikitpun kekurangan.
Ketika seorang Mukmin tak bebas berbuat sesukanya, bukan berarti hatinya menderita dan tersiksa. Tak ada yang melebihi kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang Mukmin. Kenikmatan yang berupa kecintaan kepada Allah, kelezatan beribadah kepada-Nya dan ketenangan hatinya karena yakin bahwa usahanya akan diberi pahala oleh Allah SWT. Dalam keadaan apapun, orang Mukmin bisa merasakan bahagia.
Oleh karena itu, ketika Ibnu Taimiyah dijebloskan ke penjara, dengan riang beliau berkata, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuh terhadapku, padahal jannah ada di hatiku, jika aku dipenjara itu adalah khalwah (kesempatan menyendiri dengan Allah), jika aku diusir, itu adalah tamasya, dan jika aku dibunuh, itu adalah syahid.”
Yang demikian itu karena kenikmatan yang hakiki ada di hati, berbeda dengan kesenangan nisbi seperti lezatnya makanan, nikmatnya berzina, segarnya khamr yang ketika telah berlalu tak lagi tersisa kebahagiaannya. Nikmat hati yang dirasakan orang Mukmin inilah yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Di dunia ini ada jannah, barangsiapa yang tidak memasukinya, niscaya dia tidak akan memasuki jannah yang kedua.”
Itulah nikmat dunia bagi orang yang taat, sebelum nikmat akhirat yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terdetik dalam hati manusia. Kenikmatan yang takkan berakhir dengan penderitaan, kesenangan yang takkan berganti dengan kesedihan, dan kehidupan yang takkan berkakhir dengan kematian.
Derita Dunia Para Durjana
Jika kita mengira bahwa pada kehidupan bebas dan foya-foya itu terdapat kenikmatan, itu keliru. Siapapun yang mencintai sesuatu selain Allah, berbuat bukan karena Allah, dan mencari kenikmatan selain di jalan-Nya, niscaya akan tersiksa di dunia, sebelum siksa yang lebih berat di alam kubur dan alam akhirat.
Kita sering terkecoh oleh penampakan luar yang berbeda dengan hakikatnya. Kita kerap terkecoh oleh gelak tawa dan kebebasan para pendurhaka dalam melampiaskan nafsunya. Padahal, sesungguhnya mereka tengah ‘berjuang’ untuk menahan siksa. Bahkan di dunia ini, mereka akan merasakan tiga lapis siksaan yang bertubi-tubi, dan kian bertambah ngeri.
Pertama, saat mereka berjuang mencari kenikmatan yang didambakan, hingga ia berhasil mendapatkannya. Siksaan mana yang lebih berat dari tekanan batin lantaran yang diburu tak juga didapatkan? ‘Perjuangan’ untuk menjadi penguasa, ‘pengorbanan’ untuk menjadi orang kaya bukanlah sesuatu yang ringan, baik mental maupun fisik.
Kedua, dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih kita akan tahu, bahwa para pezina adalah orang yang kebingungan mencari kenikmatan, bukan orang yang sedang mengenyam kenikmatan.
Jika Allah membiarkan mereka mendapatkan apa yang mereka ‘perjuangkan’, bukan berarti siksa telah terhenti. Siksa yang lebih berat bahkan telah menanti. Dalam bilangan detik, ‘keberhasilan’ itu akan berubah menjadi rasa takut dan khawatir. Inilah ‘hamm’, kesedihan lantaran khawatir sesuatu yang ditakuti akan terjadi di kemudian hari. Tak ada kekhawatiran yang lebih menyakitkan dari kekhawatiran pemburu dunia akan kehilangan apa yang ada di tangannya.
Ketiga, akan semakin ngeri dirasakan. Yakni tatkala apa yang telah mereka raih akhirnya lepas dari genggamannya, padahal ini pasti. Tinggal menunggu waktu. Mungkin karena direbutpaksa oleh orang lain, atau karena saatnya ia harus meninggalkan dunia. Saat itulah, mereka akan sedih, susah dan sengsara lantaran harus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Inilah yang disebut dengan ‘huzn’, yakni kesedihan pasca terjadinya sesuatu yang tidak disukai. *Abu Umar Abdillah/Suara Hidayatullah JANUARI 2008
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com