Islam Sebagai Pemersatu Nusantara

 

Nusantara

“Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiria bangsa sebagai modal   dasar untuk menjadi Negara maju.”

(MEDIA HINDU, Oktober 2011)

 

Apa reaksi kita ketika membaca kutipan di atas? Padahal itu hanya sebagian kecil kutipan dari laporan utama sebuah majalah Hindu yang terbit bulan lalu. Lebih lanjut lagi ada beberapa statement di sana yang cenderung mengecilkan peran dan potensi Islam untuk menyatukan Nusantara ini. Mereka bahkan secara tidak langsung menganalogikan agama selain Hindu sebagai pohon yang tidak cocokhidup di negeri ini. Misalnya ada pernyataan seperti, “…Pohon kurma yang habitatnya di gurun pasir tidak akan berbuah di daerah subur dan banyak hujan sepeti Indonesia. Jika Indonesia ingin maju maka ia harus kembali ke akar budayanaya.”

 

Suara yang disampaikan media seperti itulah yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk nyata dari efek negatif “mitos nasional” yang selama ini kita terima di bangku sekolah. Mulai dari SD/ MI sampai tingkat perguruan tinggi selalu disebutkan bahwa Nusantara mengalami kemajuan pesat saat di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk dan Gajah Mada terutama yang menjadi tokoh sentralnya. Tidak ditampakkan sedikit pun peranan agama Islam sebagai dasar timbulnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

 

 

 

Lebih parah lagi banyak buku-buku pelajaran Sejarah yang tanpa segan-segan mengisahkan bahwa kehancuran persatuan bangsa di bawah Majapahit adalah akibat serangan Raden Patah dari Demak. Hal ini bisa kita temukan di dalam buku Sejarah untuk SMA Kelas X (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), disana tertulis: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” (hal. 49). Tentu pernyataan seperti ini menambah kesan negative Islam sebagai “biang kerok” dari runtuhnya sebuah peradaban maju yang menaungi sebagian besar wilayah Nusantara. Akibatnya, masyarakat awam akan berpikiran bahwa Islam adalah penghancur kebudayaan Indonesia. Oleh karenanya, Islam tidak boleh menyatu dengan simbol-simbol dan lambang kenegaraan. Islam pun dianggap tidak cocok untuk digunakan sebagai viewpoint (sudut pandang) para pemegang kekuasaan karena akan memecah belah rakyat.

 

Ternyata upaya mengerdilkan dan membunuh karakter Islam seperti itu sudah tercium oleh para cendekiawan Muslim Indonesia. Salah satunya ialah H. Agus Salim. Cendekiawan legendaris ini menulis sebuah buku berjudul Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia (dicetak ulang dan diterbitkan oleh Tintamas Jakarta, 1962). Beliau berusaha mengklarifikasi kisah tentang keruntuhan Majapahit yang katanya disebabkan oleh pasukan Islam. Menurutnya, Majapahit tidak runtuh pada 1478 M, saat ibukota Majapahit diserang oleh Girindrawardana. Lebih lanjut Encyclopedia van Nederlandsch-Indie mengungkapkan bahwa seorang pelaut Portugis, Pigafetta, memberitakan pada 1463 Caka (1541) Majapahit masih berdiri. Sehingga anggapan bahwa tahun 1478 Majapahit runtuh akibat serangan tentara Islam keliru dan tidak berdasar pada sumber yang terpercaya. (hal. 19-20).

 

“Majapahitisme” (?)

 

Benarkah Majapahit pernah menyatukan Nusantara? Mungkin sebagian besar orang saat ini akan menjawab: BENAR. Ini karena seperti disebutkan di atas bahwa pembelajaran Sejarah di Indonesia saat ini masih berkiblat pada keyakinan bahwa hanya ada dua kerajaan yang pernah menyatukan Nusantara, yaitu Sriwijaya (Budha) dan Majapahit (Hindu). Akan tetapi ada beberapa sumber menyebutkan istilah menyatukan Nusantara juga kurang tepat disematkan kepada Majapahit karena banyak kepala suku di pedalaman Indonesia  yang menolak membayar upeti. Ada juga dijumpai kerajaan Islam di Jawa yang tidak mematuhi kebijakan Majapahit karena dinilai semena-mena.

 

Cendekiawan Muslim lain, Buya Hamka, yang pada tahun 2011 ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pernah menulis artikel menarik berjudul “Islam dan Majapahit” yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Di sana Buya Hamka membuka tulisannya dengan ungkapan seperti ini: “Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas daripada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”

 

Hamka menguraikan bahwa memang Majapahit, terutama pada saat Patih Gajah Mada memegang kendali mampu melakukan ekspansi ke banyak wilayah Nusantara. Bahkan dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar wilayah taklukan Majapahit, baik kerajaan Hindu, Budha, maupun Islam. Keajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh mereka. Sampai-sampai Pasai tidak bisa berdiri lagi menjadi kerajaan. Hanya saja mereka kaya akan ulama. Ulama-ulama tersebut menjadi banyak rujukan pertanyaan dari Kerajaan Islam seperti Malaka apabila ada permasalahan yang tidak bisa mereka pecahkan. Pasai yang ditaklukan dengan senjata akhirnya mengambil sikap dengan mengirim banyak ulama ke Jawa. Di sana mereka dapat damai mulai menyebarkan dakwah Islam. Raja-raja Majapahit pun tidak mencela tindakan para ulama tersebut. Bahkan ada ulama yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Memang pada saat itu mereka memiliki kewibawaan yang tinggi di masyarakat luas. Hamka menolak tegas pandangan yang menyatakan nahwa Majapahit runtuh karena serangan Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang dilakukan oleh para orientalis macam Snouck Hourgronjes, dkk. Maksud mereka ialah menjauhkan Bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis spirit kebangsaan. Maksud mereka pun berhasil. Saat ini nama Sunan Ampel dan Sunan Giri dikalahkan oleh Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang berjuang mengusir Portugis dari Malaka dilupakan, dan digantikan oleh Raja Airlangga. Sehingga yang timbul selanjutnya ialah seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

 

Mari kita simak beberapa paparan Hamka berikut:

 

“Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih!

 

…….

 

Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.

 

…….

 

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”

 

Itulah suara yang hendak Buya Hamka sampaikan kepada kita. Beliau ingin kita tidak termakan begitu saja banyak anggapan miring bahwa budaya bangsa yang sejati adalah identik dengan Hindu atau Budha. Hukum adat dan warisan colonial dianggap pemersatu, sedangkan Islam adalah pemecah belah bangsa. Kemudian Islam tidak universal, nilai-nilai sekular di luar agamalah yang universal.

 

Namun demikian, perlu kita ketahui bahwa ternyata tidak hanya pihak Islam sendiri yang mengkritik pengagungan Majapahit secara berlebihan (Majapahitisme). Ini justru muncul dari majalah Hindu tertua, yaitu RADITYA. Edisi ke-134 (Oktober 2008), majalah tersebut menagangkat tema tentang “Kebangkitan Majapahit”. “Pemahaman yang menganggap kejayaan Majapahit sebagai kejayaan Hindu adalah suatu kesimpulan yang harus dikoreksi”, tulis majalah tersebut. Bahkan lebih lanjut tertulis:

 

“Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman Majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dew-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudha menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”

 

            Guru Besar SEjarah Univ. Udayana, Prof. Dr. I Gede Parimartha menyatakan kepada majalah Raditya itu bahwa mengagung-agungkan Majapahit lebih banyak merugikan. Salah satu alasannya ialah system kehidupan Majapahit yang banyak berakibat terjadinya ketimpangan sosial dan system kasta yang rumit.

 

 

 

Penutup

 

Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang ilmuwan Muslim Malaysia yang sejak berpuluh tahun lalu bergelut di bidang pemikiran, peradaban, dan sejarah Islam, mengungkapkan:

 

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hourgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hamper semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hourgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini. Namun begitu, baik dalam tulisan Hourgronje maupun dalam tulisan Van Leur, tidak terdapat hujjah-hujjah ilmiah yang mempertahankan pandangan demikian mengenai Islam dan peranan sejarahnya.” (Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 36).

 

Menurut Al-Attas Nusantara adalah satu kesatuan peradaban Melayu, dengan menempatkan faktor Islam sebagai unsur yang dominan. Wilayah inilah yang saat sekarang dihuni lebih dari 200 juta kaum Muslim. Memang sudah banyak cendekiawan yang menyatakan bahwa agama adalah unsur pokok dari suatu peradaban. Misalnya, Bernard Lewis menyebut Peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization” dengan agama Kristen sebagai unsur utama. Samuel P. Huntington menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Bahkan Christopher Dawson menyatakan: “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.”

 

Lebih lanjut apabila kita mencermati dan memaknai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 secara objektif, sudah jelas bahwa sebenarnya Islam-lah spirit Bangsa Indonesia sebenarnya. Hal ini nampak dari penyebutan frase “atas berkat rahmat Allah”. Siapa lagi umat yang menyebut Tuhannya “Allah” kalau bukan seorang Muslim? Bahkan Sila pertama ,Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya juga semakin menegaskan bahwa spirit Islam yang dahulu menjadi pemersatu dan pematik semangat perjuangan. Bukankah hanya Islam yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa atau Tunggal. Spirit inilah yang para pendiri bangsa kita rumuskan. Hanya saja saat ini terjadi begitu banyak makar untuk memisahkan antara kaum Muslimin dari identitas kenegaraan. “Tuhan Yang Maha Esa” pun kemudian ditafsirkan “Tuhan yang mana saja”.

 

Sebagai akhir dari tulisan ini mungkin perlu pula kita sadari bahwa upaya kita membangkitkan Islam kembali sebagai spirit perjuangan dan pemersatu bangsa bukanlah sikap egois. Ini adalah cerminan Bangsa Indonesia sesungguhnya sejak dahulu kala sebelum adanya berbagai konspirasi sejarah. Islam pun tidak kemudian akan memarginalkan orang di luar Islam yang hidup di negeri ini. Cukuplah “penaklukan” Mekah (Fathu Makkah), Cordoba, Konstantinopel, dll. Memjadi bukti bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Bukankah Rasulullah SAW. Juga hidup rukun berdampingan dengan kaum di luar Islam di negeri Madinah?

 

*Tulisan ini merupakan summary sederhana dari materi “Penyatuan Nusantara: Fakta dan Fiksi” yang disampaikan Dr. Adian Husaini (ketua prodi Pendidikan Islam di Univ. Ibnu Khaldun Bogor, penulis, dan peneliti INSISTS) pada momen Seminar Internasional Sejarah dan Peran Islam dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa di Hotel Gren Alia Cikini, 18 Dzulhijjah 1432 H/ 14 November 2011 M. Turut hadir dan memberikan materi pula Director of Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS) dari Universiti Teknologi Malaysia, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud; Prof. Dr Muhammad Zainiy Uthman (Coordinator of Internationalisation and Publication CASIS); Dr. Khalif Muammar (Coordinator of Academic and Research CASIS); dan beberapa peneliti INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization).

Sumber: http://catatanpembelajar.wordpress.com

Tambahan dari saudara Raden Said:

dan ma`af kami lengkapi lg majapahit bukan diserang kerajaan islam demak agar tdk mnimbulkan fitnah Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan
darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.

Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak.

Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat.

“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.

Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.

Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.

Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu.

Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.

Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.

Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulismakam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.

Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan di kompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).

Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak CandiSiwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untukmenghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.

ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan. Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit .Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s