Di Mana Allah

Allah is OneSifat Al ‘Uluw Bagi Allah

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra,MA

Dengan memanjatkan puji dan syukur pada Allah Yang Maha Tinggi di atas segala makhluk-Nya. Kemudian ucapan Selawat dan salam buat Nabi kita yang mulia Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Yang telah mi’raj (naik) menghadap Allah dalam rangka menjeput perintah shalat wajib yang lima waktu.

Para pembaca yang budiman! Topik pembahasan kita pada kesempatan ini adalah tentang sifat ‘uluw bagi Allah. Sebagai lanjutan dari bahasan tentang sifat-sifat Allah pada edisi-edisi yang lalu.

Dianatara pokok-pokok keyakinan Ahlusunnah yang urgen adalah mengimani bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas seluruh makhluk-Nya. Mengimani sifat ‘uluw adalah bagian dari hal-hal yang berhubungan dengan iman kepada Allah. Karena Allah Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya, tidak satupun makhluk yang menyerupai Allah dalam kesempurnaan terseut. Sebagaimana telah kita jelaskan pada edisi-edisi yang lalu tentang kaedah-kaedah dalam mengimani sifat-sifat Allah 1.

Dalil tentang sifat tersebut sangat banyak sekali baik dalam Al Qur’an maupun dalam kitab-kitab sunnah. Demikian pula halnya perkataan para ulama salaf dari berbagai bidang kedisiplinan ilmu Islam. Terlebih khusus para ulama yang menulis tentang aqidah Ahlussunnah, mereka tidak pernah melewatkan pembahasan ini. Masalah ini adalah benang merah yang membedakan antara aqidah Ahlussunnah dengan aqidah Ahlul kalam dan aqidah Ahli filsafat.

Berikut kita sebutkan diantara para ulama yang membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka yang berbicara tentang pokok-poko aqidah Ahlussunnah:

  1. Imam Ahmad bin Hambal wafat th (241 H) dalam kitabnya “Ar Raddu ‘ala Al Jahmiyah.
  2. Imam Daarimy wafat th (280 H) dalam dua kitabnya; yang pertama judulnya: “Ar Raddu ‘ala al Jahmiyah”, yang kedua judulnya: “Naqdhu Daarimy ‘ala Marrisy“.
  3. Imam Ibnu Abi ‘Ashim wafat (287 H) dalam kitabnya “As Sunnah”.
  4. Abdullah bin Ahmad bin Hambal wafat th (290 H) dalam kitanya “As Sunnah”.
  5. Imam Ibnu Khuzaimah wafat th (311 H) dalam kitabnya yang berjudul “At Tauhid“.
  6. Imam Khalaal wafat th (311H) dalam kitabnya “As Sunnah”.
  7. Imam Abu Ja’far Thahaawy wafat (321 H) dalam kitabnya yang masyhur “Aqidah Thahawiyah”.
  8. Imam Abu Hasan Al Asy’ary wafat th (324 H) dalam dua kitabnya; yang pertama berjudul “Al Ibaanah ‘an Ushuul Diyanah, yang kedua berjudul “Rasalah Ila Ahli Tsaghar”.
  9. Imam Al Ajurry wafat th (360 H) dalam kitabnya “Asy Syari’ah”.
  10. Imam Ibnu Baththah wafat th (387 H) dalam kitabnya “Al Ibaanah Al Kubro“.
  11. Imam Ibnu Mandah wafat th (395 H) dalam dua kitabnya; yang pertama berjudul “At Tauhid” dan yang kedua berjudul: “Ar Raddu ‘ala al Jahmiyah”.
  12. Imam Ibnu Abi Zamaniin wafat th (399 H) dalam kitabnya “Ushuul Sunnah”.
  13. Imam Al Laa lakaa’i wafat th (418 H) dalam kitabnya “Syarah I’tiqaat Ahlussunnah“.
  14. Imam Baihaqy wafat th (458 H) dalam kitabnya yang berjudul “Al I’tiqaad”.
  15. Imam Abu Ali Hasan bin Ahmad Al Banna wafat th (471 H) dalam kitabnya: “Al Mukhtaar Fi Ushul Sunnah“.
  16. Imam Ismail Al Ashfahaany wafat th (545 H) dalam kitabnya “Al Hujjah fi Bayaan Al Mahajjah“.
  17. Imam Ibnu Qudaamah Al Maqdisy wafat th (620 H) dalam kitabnya: “Lum’atul I’tiqad“.

Bahkan sebahagian ulama ada yang membahas masalah ini secara khusus dalam kitab tersendiri, diantara mereka tersebut adalah:

  1. Imam Ibnu Qudaamah Al Maqdisy wafat th (620 H) mengarang kitab “Itsbaat sifat Al ‘Uluw“.
  2. Imam Ibnu Thahir Al Qaisaraany wafat th (507 H) mengarang kitab “Al ‘Uluw wan Nuzuul“.
  3. Imam Ibnu Qayyim al jauziyah wafat th (751 H) mengarang kitab “Ijtimaa’ Juyuusy Islamiyah ‘ala ghazwi Mu’athilah“.
  4. Imam Dzahaby wafat th (748 H) mengarang dua kitab dalam masalah ini. Yang pertama dengan judul Al ‘Uluw dan yang kedua dengan judul Al ‘Arsy.

Sengaja penulis menyebutkan tahun wafat dari para ulama tersebut untuk membuktikan kedustaan orang yang mengatakan bahwa penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah tidak dikenal oleh para ulama salaf. Bahkan ada yang mengatakan hal ini adalah hasil pemikiran Ibnu Taimiyah wafat th (728 H) dan Muhammad Bin Abdulwahab wafat th (1206 H). Ini membuktikan bahwa mereka tidak pernah mengenal buku-buku aqidah karangan para ulama terkemuka dikalangan umat ini, apa lagi untuk membacanya. Atau mereka mengenal dan membacanya akan tetapi mereka taklid buta kepada para guru mereka serta takut terbongkarnya kesesatan mereka selama ini, yang pada akhirnya akan membuat para pengikut mereka tidak simpatik lagi pada mereka. Atau para pengikut mereka akan lari meninggalkan mereka ketika terbuktinya kelemahan ilmu mereka. Hal tersebut akan mengurangi pendapatan perkapita mereka pertahun.

Jika kita perhatikan dengan seksama buku-buku aqidah yang ditulis oleh ulama salaf, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah adalah masalah yang urgen dalam agama ini. Hal ini dibuktikan betapa banyaknya para ulama yang menjelaskan tentang masalah tersebut dalam kitab-kitab mereka. Terlebih-lebih lagi jika kita membaca kitab-kitab tafsir dan syarah kitab-kitab hadist terkemuka yang dikarang oleh para ulama kita.

Bahsan ini akan kita bagi menjadi lima bagian:

Bagian pertama: Dalil-dalil dari ayat Al Qur’an yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian kedua: Dalil-dalil dari Sunnah (hadits-hadits) yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian ketiga: Perkataan Para sahabat, Tabi’iin dan Tabi’ Tabi’iin serta para ulama dari masa ke masa yang yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian keempat: Dalil-dalil akal dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian kelima: Jawaban terhadap syubuhat (argumentasi) para penetang aqidah Ahlussunnah dalam penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian Pertama

Dalil-dalil dari ayat Al Qur’an yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah

Dalam bagian pertma bahasan ini kita akan menyebutkan sebahagian ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas segala makhluk. Suatau hal yang mustahil untuk meneybutkan seluruh ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat ‘Uluw. Disamping keterbatasan waktu juga karena ayat-ayat yang berkenaan sifat ‘Uluw jumlahnya sangat banyak mencapai ratusan ayat. Akan tetapi kita akan menyebutkan bentuk-bentuk redaksi Al Qur’an dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Pada setiap macam dari redaksi tersebut kita sebutkan satu ayat atau sampai tiga ayat saja paling banyak jika hal tersebut diperlukan.

Pada berikut ini kita sebutkan bentuk-bentuk redaksi Al Qur’an dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah:

Redaksi pertama: Bahwa Allah mengangkat sebagian makhluk ke arah-Nya di atas. Hal ini Allah sebutkan dengan berulang kali dengan sinonim kata yang menunjuk makna yang sama. Yaitu kata-kata: “Ar Raf’u”, “Ash Shu’ud”, dan “Al ‘Uruuj.

  • Menggunakan kata “Ar Raf’u”, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

{إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ} [آل عمران/55]

“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu tertidur dan mengangkat kamu kepada-Ku”.

Dan firman Allah:

{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ} [النساء/158]

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya”.

Dalam dua ayat di atas Allah menegaskan bahwa Allah menyelamatkan nabi Isa u dari pembunahan dengan mengakat nabi Isa ‘Alaihis Salam kepada-Nya2. Ini menunjukkan bahwa Allah itu berada di arah atas, bukan di arah bawah. Karena kata-kata mengangkat dalam seleuruh bahasa digunakan untuk menunjukkan ke arah atas.

  • Menggunakan kata “Ash Shu’ud” sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ [فاطر/10]

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa perkataan baik dan amal sholeh naik kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa Allah itu berada di arah atas, bukan di arah bawah. Karena kata-kata naik dalam seleuruh bahasa digunakan untuk menunjukkan ke arah atas.

  • Mengunakan kata “Al ‘Uruuj” sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ [المعارج/4]

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan”.

Dan firman Allah:

{يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ} [السجدة/5]

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya”.

Demikian pula dalam dua ayat ini Allah menerangkan bahwa para malaikat dan segala urusan naik kepada Allah pada hari kiamat kelak3. Dua ayat ini sama dengan ayat sebelumnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka karena itu dipergunakan kata-kata naik dalam ayat-ayat tersebut.

Redaksi kedua: Menggunakan kata “Al Fauq” dalam menyatakan bahwa para malaikat takut pada Allah yang berada di atas mereka, sebagaimana firman Allah:

{يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ} [النحل/50]

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”.

Ayat ini menerangkan bahwa para malaikat yang berada di langit takut kepada Robb mereka yang berada diatas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di arah yang lebih tinggi dari para malaikat tersebut. Karena kata-kata di atas dalam semua bahasa penggunaannya untuk menunjukkan arah yang tinggi.

Redaksi ketiga: Menggunakan kata Istiwaa’ yang digabung dengan huruf ‘alaa yang artinya menunjukan makna “atas”, hal ini berulang kali Allah katakan dalam Al Qur’an, diantaranya sebagaimana firman Allah berikut ini:

{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5]

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang beristiwaa’ di atas ‘Arsy”.

Dan firman Allah:

{ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}

“Lalu Dia beristiwaa’ di atas ‘Arsy”.

Ayat yang serupa terdapat enam kali dalam Al Qur’an, maka keseluruhan ayat istiwaa’ yang digabung dengan huruf ‘alaa ada tujuh ayat dalam Al Qur’an, lihat surat-surat berikut ini;

1. surat Al A’raaf, ayat: 54.

2. surat Yunus, ayat: 3.

3. surat Ar Ra’d, ayat: 2.

4. surat Al Furqan, ayat: 59.

5. surat As Sajdah, ayat: 4.

6. surat Al Hadiid, ayat: 4.

Istiwaa’ dalam bahasa arab mengandung beberapa makna, bila kalimat istiwaa’ bergabung dengan huruf ‘alla maka maknanya menunjukkan di atas4.

‘Arasy adalah makhluk Allah yang paling tinggi, tidak ada lagi makhluk yang lebih tinggi setelah ‘Arasy. Dan Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, maka tidak makhluk yang sama atau lebih tinggi dari Allah. Istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy, tidak berarti bahwa Allah bersentuhan dengan ‘Arasy tersebut. Sebab Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluknya. sebagaimana tidak mesti setiap sesuatu yang berada di atas yang lainnya harus dalam bentuk saling bersentuhan. Sebagaimana halnya keberadaan langit di atas bumi tidak saling bersentuhan antara keduanya. Apabila hal itu mungkin pada makhluk, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi berdiri sendiri tidak butuh sedikitpun kepada makhluk. Ia tidak butuh kepada ‘Arasy untuk menahan atau menopang-Nya. Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy bukan berarti Allah butuh kepada ‘Arasy, akan tetapi jusru sebaliknya, dimana ‘Arasy itu sendiri keberadaan nya bergantung kepada kekuasaan Allah.

Redaksi keempat: Bahwasanya kitab-kitab suci diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana firman Allah:

{آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ} [البقرة/285]

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman”.

Dan firman Allah:

{تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم} [الزمر/1]

“Kitab (Al Quran ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Juga firman Allah:

{تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الحاقة/43]

“Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”.

Ayat yang semakna dengan ayat-ayat di atas amat banyak dalam Al Qur’an, diantaranya lihat:

  1. surat Al Maaidah, ayat: 66 & 67.
  2. surat Al A’raaf, ayat: 3.
  3. surat Ar Ra’du, ayat: 1 & 19.
  4. surat Saba’, ayat: 6.
  5. surat Az Zumar, ayat: 55.
  6. surat as sajdah, ayat 2.
  7. surat Ghafir (Al Mu’min), ayat: 2.
  8. surat Fushshilat, ayat: 2 & 42.
  9. surat Al jatsiyah, ayat: 2.
  10. surat Al Waaqi’qh, ayat: 80.

Ayat yang menyatakan bahwa Al Qur’an dan kitab-kitab suci lainya diturunkan dari Allah sangat banyak sekali jumlahnya. hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Kalau seandainya Allah tidak berada di atas, tentulah kitab-kitab suci tersebut tidak bisa dikatakan turun dari Allah.

Sebab kata-kata turun dalam seluruh bahasa penggunaannya untuk menunjukkan dari arah yang tinggi kearah yang rendah. Jika Allah bukan di atas tentu tidak tepat bila disebut bahwa Al Qu’an diturun dari sisi Allah.

Redaksi keenam: Allah menggunakan kata-kata di langit untuk menyatakan tentang diri-Nya. Sebagaiamana firman Allah berikut ini:

َأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا [الملك/16، 17]

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu”.

Kata langit dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, jika langit diartikan dengan langit yang asli maka huruf Fii dalam ayat di atas bermakna ‘alla (di atas).

Karena dalam bahasa Arab antara sesama huruf Jaar boleh saling bergantian dalam penggunaannya, sebagaimana dalam firman Allah:

{فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ } [آل عمران/137]

“Maka berjalanlah kamu di atas bumi”. Ayat ini tidak mungkin diartikan berjalanlah kamu dalam bumi. Karena itu huruf Fii dalam ayat tersebut diartikan dengan huruf ‘alla5.

Namun bila huruf Fii tetap pada maknannya yang asli (pada), maka langit dalam ayat di atas bermakna arah yang tinggi. Karena dalam bahasa Arab stiap arah yang tinggi boleh disebut langit6.

Sebagaimana dalam firman Allah:

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ} [إبراهيم/24]

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.

Makna ayat di atas ialah bahwa cabang pohon tesebut menjulang tinggi keatas langit, tetapi bukan berarti bahwa cabang pohon itu menyentuh dan membelah langit.

Maksud dari ungkapan bahwa Allah berada di atas langit bukan berarti bahwa langit bersentuhan dengan Allah. Sebagaimana ungkapan kita bahwa langit di atas bumi bukan berarti bahwa langit menepel ke bumi, akan tetapi keduanya memiliki jarak ratusan juta ribu mil. Jika demikian halnya maka tidak ada kontradiksi antara ayat yang menyebut Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy dengan ayat yang menyebutkan Allah di atas langit. Karena ‘Arasy berada di atas langit sekalipun jarak anatara langit dan ‘Arasy sangat jauh sekali.

Redaksi ketujuh: Allah menyebutkan beberapa nama-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Mha Tinggi secara mutlak, baik dari segi kedudukan, kekuasaan maupun zat. Dianatara nama-nama Allah yang menunjukkan akan kemahatinggian Allah:

A. Nama Allah: “Al ‘Aliyyu” (العلي). Sebagaimana firman Allah:

{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا} [النساء/34]

“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Dan firman Allah:

{وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ } [البقرة/255]

“Dan Allah itu Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Nama ini terulang sekitar delapan kali dalam Al Qur’an, disamping dua ayat di atas lihat pula ayat-ayat berikut ini:

  1. surat Al Hajj, aya: 62.
  2. surat Luqman, ayat: 30.
  3. surat Saba’, ayat: 23.
  4. surat Al Mu’min, ayat: 12.
  5. surat Asy Syuraa, ayat: 4 & 51.

B. Nama Allah: “Al A’laa” (الأعلى). Sebagaimana dalam firman Allah:

{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى/1]

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi”.

Nama ini terulang dua kali dalam Al Qur’an, disamping ayat di atas lihat pula surat “Al lail”, ayat: 20.

C. Nama Allah: “Al Muta’aal” (المتعال). Sebagaimana dalam firman Allah:

{عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ} [الرعد/9]

“Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi”.

Ayat-ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi dalam segala segi baik dari segi kekuasaan, kemulian maupun zat. Barangsiapa yang mengingkari tentang keMahatinggian Allah dari segi zat, maka sesungguhnya ia telah membatasi kesempurnaan makna sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama Allah tersebut.

Kesimpulan:

Berdasarkan ayat-ayat yang kita sebutkan di atas maka tidak ada lagi keraguan bagi seorang muslim untuk mengimani bahwa Allah Maha Tinggi secara mutlak di atas seluruh makhluknya. Maka oleh sebab itu ketika mereka berdo’a mata hatinya mengarah ke arah atas langit, karena Allah berada di atas mereka. Makhluk yang paling tinggi adalah ‘Arasy dan Allah berada jauh lebih tinggi dari ‘Arasy, tiada di atas kecuali hanya Allah semata. Tidak ada zat makhluk yang bersentuhan dengan Zat Allah dan tidak ada pula Zat Allah yang bercampur dengan zat makhluk. Akan tetapi Allah bersama makhluk-Nya dengan sifat-sifat rububiyahnya bukan dengan zat-Nya. Dianatara sifat-sifat rububiyah seperti sifat ilmu, penglihatan dan pendengaran.

Berkata Imam Ibnu Baththah: “Telah bersepakat kaum muslimun dari kalangan sahabat, tabi’iin dan seluruh para ulama dari orang-orang yang beriman bahwa Allah di atas ‘Arasy, di atas seluruh langit, tidak bersentuhan dengan makhluk-Nya, ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidaklah mengikari hal itu kecuali orang yang menganut paham hululiyah (manungaling). Mereka adalah kelompok yang telah sesat hatinya dan mereka telah ditipu setan, lalu mereka meninggalkan agama. Mereka mengatakan: bahwa Allah berada disetiap tempat dengan zat-Nya…”7.

,,,Semoga Allah menurunkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua,,,

  1. lihat edisi 89, 90, 92, 93, 94 th ke 8-9/2009
  2. lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/47
  3. lihat tafsir Baghawy: 6/300
  4. lihat Lisanul Arab: 14/408
  5. lihat kitab “Asmaa’ wash shifaat” / Imam Baihaqy: 2/236
  6. lihat tafsir Ibnu ‘Athiyah: 1/92
  7. lihat Al Ibaanah/ Ibnu Bathathah: 3/136

Dalil-dalil dari Sunnah yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra,MA

Pada bagian pertma dari bahasan ini telah kita sebutkan sebahagian dari ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas segala makhluk. Maka pada bagian kedua dari lanjutan bahasan ini kita kemukakan dalil-dalil dari Sunnah (hadits-hadits) yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Karena keterbatasan waktu dan begitu banyaknya hadist-hsdits yang berkenaan sifat ‘Uluw, maka penulis hanya menyebutkan sebahagian kecil dari hadits-haditst yang berkenaan dengan sifat ‘Uluw tersebut.

Hadits-hadits tersebut akan kita susun berdasarkan bentuk-bentuk redaksinya dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Kemudian pada setiap macam dari redaksi tersebut kita sebutkan satu hadits atau paling banyak tiga hadits saja jika hal tersebut diperlukan.

Redaksi pertama: Bahwa manusia mengangkat dan membuka dua telapak tangannya ke arah atas ketika berdo’a kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada pada arah atas.

Seperti disebutkan dalam hadits berikut ini:

«ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».

“Kemudian ia menyebutkan seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan yang jauh, rambutnya kusut, badanya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah langit (sambil berdo’a): Ya Robb, Ya Robb. Sedangakan makananya harm, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dibesarkan dengan yang haram, dimana Allah akan mengabulkan do’anya”1.

Dalam hadits lain disebutkan:

«إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا».

“Sesungguhnya Robba kalian adalah Maha Malu lagi Maha Pemberi, Ia malu dari hambaNya apa bila mengangkat dua tangannya kepadaNya, ia kembalikan dalam keadaan kosong”2.

Hadits yang menerangkan tentang mengangkat tangan ketika berdo’a sangat banyak sekali. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa mengangkat tangan adalah termasuk adab-adab dalam berdo’a dan merupakan salah satu sebab untuk dikabulkannya do’a.

Berkata imam Shan’any: “Sungguh telah diakui tentang mengangkat tangan ketika berdo’a dalam beberapa hadits, imam Munziry telah mengumpulkannya dalam sebuah karya tulis. Berkata imam Nawawy: aku telah mengumpulakan dalamnya sekitar tiga puluh hadits dari dua kita shohih (Buhkari dan Muslim) atau salah satu keduanya. Ia (imam Nawawy) telah menyebutkannya di akhir bab sifat shalat dalam syarah Muhazzab”3.

Di syari’atkannya mengangkat ke arah ke atas adalah karena Zat yang tempat kita meminta berada di atas kita. Hal ini dirasakan oleh setiap orang yang sedang berdo’a dalam sanubarinya. Artinya gerakan tangan mengikuti apa yang dikatakan hati kita. Oleh sebab itu imam Juwaini ketika ditanya oleh salah seorang yang menghadiri majlisnya: bagaimana cara melawan kondisi hati ketika saat berdo’a selalu meminta kearah atas? Imam Juwaini tidak bisa menjawabnya dan ia turun dari kursinya sambil memukul-mukul kepalanya lalu berkata: aku dibingungkan oleh Hamadani, aku dibingungkan oleh Hamadani (nama penanya tsb)4.

 

Redaksi kedua: Rasulullah r menyebutkan dalam sabdanya bahwa para malaikat yang mencatat amalan manusia ditanya Allah ketika mereka telah naik kelangit. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas lengit. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah r:

« يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِى فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ ».

“Saling bergantian di tengah-tengah kalian malaikat yang bertugas di waktu malam dan malaikat yang bertugas di wakti siang. Dan mereka bertemu di waktu shalat asar dan di waktu shalat subuh. Kemudian mereka yang telah bertugas naik (kelangit), lalu Robb mereka bertanya kepada mereka –dan Ia lebih tahu tentang hal keadaan mereka- bagaimana keadaan hambaku saat kalian tinggalkan? Para malaikat tersebut menjawab: kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang shalat dan kami temui mereka dalam keadaan sedang shalat juga”5.

Dalam hadits yang lain, yaitu tentang para malaikat yang menghadiri majlis zikir, setelah mereka selesai mereka naik kelangit lalu Allah bertanya kepada mereka, hal ini juga menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

«فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ – قَالَ – فَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِى الأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ».

“Apbila mereka telah selesai, mereka naik kelangit. Maka Allah bertanya kepada mereka –dan Ia lebih tahu tentang keadaan mereka- dari mana kalian datang? Para malaikat tersebut menjawab: kami datang dari sisi para hamba-Mu di bumi, mereka bertasbih , bertakbir, bertahmid dan berdo’a kepada-Mu”6.

Hal ini sudah diyakini oleh setiap muslim bahwa para malaikat yang mencatat amalan manusia naik ke langit setiap pagi dan sore untuk melaporkan amalan manusia kepada Allah. Kalau seandainya Allah berada di setiap tempat, tentulah malaikat melaporkannya di mana saja tidak perlu harus naik kelangit untuk melaporkannya kepada Allah.

Redaksi ketiga: Rasulullah r menyebutkan bahwa Allah-lah yang menurunkan kitab-kitab suci kepada para rasul-Nya, kemudian Rasulullah menfsirkan nama Allah “Azh Zhohir” bahwa tiada sesuatupun yang lebih tinggi dari-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah r:

«اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ وَرَبَّ الأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَىْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَىْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ».

Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik ‘Arasy yang agung, Rabb kami dan Robb segala sesuatu, Yang membelah bijian, Yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan (Al Qur’an). Aku berlindung dengan-Mu dari kejahatan segala sesuatu, Engkaulah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pertama tiada sesuatupun sebelum Engkau, Engkaulah Yang Maha Terakhir tiada sesuatupun setelah Engkau, Engkaulah Yang Maha Zhohir tiada sesuatupun di atas Engkau, Engkaulah Yang Maha batin tiada sesuatupun yang lebih tersenbunyi dari-Mu, bebaskahlah kami dari hutang dan jauhkanlah kami dari kefakiran7.

Dalam hadits di atas terdapat pernyataan bahwa kitab suci; Taurat, Injil dan Al Qur’an diturnkan oleh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Karena kalau Allah berada di setiap temapt dengan Zat-Nya tentu penggunaan kata menurunkan tidak tepat sama sekali.

Kemudian dalam hadits tersebu t terdapat penjelasan Rasulullah r tentang makna nama Allah “Azh Zhohir” yaitu: Engkaulah Yang Maha Zhohir tiada sesuatupun di atas Engkau. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Allah berada di tempat yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk, tiada satupun yang lebih tinggi dari Allah.

Kalau seandainya Allah berada di setiap tempat dengan Zat-Nya, tentu ada yang lebih tinggi dari Allah, dan Allah berada di anatara, atau di dalam, atau di bawah sebahagian makhluk! Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya.

Redaksi keempat: Bahwasanya para malaikat berbaris rapi di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah r:

«أَلاَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَلَّ وَعَزَّ. قُلْنَا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ « يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْمُقَدَّمَةَ وَيَتَرَاصُّونَ فِى الصَّفِّ».

“Mengapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di sisi Robb mereka. Para sahabat bertanya; bagaimana para malaikat berbaris di sisi Robb mereka? Jawab beliau: mereka menyempurnakan shaf yang terdepan dan merepatkan shaf” 8.

Sudah dimaklumi oleh stiap muslim yang mengetahui tentang ajaran Islam bahwa para malaikat tersebut berbaris adalah di langit. Tentu sudah sangat dipahami jika mereka berbaris di sisi Allah, bahwa Allah itu berada di atas langit. Kalau Allah berada dimana-mana tentu manusia pun bisa disebut berbaris di sisi Allah, maka hal ini menafikan makna hadits tersebut yang menunjukkan tentang keistimewaan para malaikat.

 

Redaksi kelima: menggunakan kata-kata di langit untuk menyatakan tentang Allah. Sebagaiamana sabda Rasulullah r berikut ini:

Hadits Pertama:

«أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً».

“Apakah engkau tidak mempercayai aku! (sedangkan Aku) kepercayaan siapa yang di langit (Allah). Datang kepadaku berita langit setiap pagi dan sore”9.

Hadits kedua:

«ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ».

”Sangilah siapa yang di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh siapa yang di langit (Allah) 10.

Hadits ketiga:

« وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا ».

”Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah seorang suami yang mengajak isterinya ketempat tidur lalu iterinya enggan, kecuali Yang di langit (Allah) marah kepada sang isteri sampai sang suami redha terhadapnya” 11.

Telah dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini bahwa maksud dari ungkapan bahwa Allah berada di atas langit bukan berarti bahwa langit bersentuhan dengan Allah. Sebagaimana ungkapan kita bahwa langit di atas bumi bukan berarti bahwa langit menepel ke bumi, akan tetapi keduanya memiliki jarak ratusan juta ribu mil. Jika demikian halnya maka tidak ada kontradiksi antara ayat yang menyebut Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy dengan ayat yang menyebutkan Allah di atas langit. Karena ‘Arasy berada di atas langit sekalipun jarak anatara langit dan ‘Arasy sangat jauh sekali.

Karena itu huruf Fii dalam lafaz hadits-hadits di atas diartikan dengan huruf ‘alla12.

Hal ini sangat jelas dalam hadits yang kedua: ”Sangilah siapa yang di bumi”. Maksudnya adalah makhluk yang di muka bumi, bukan makhluk yang adalam perut bumi.

Namun bila huruf Fii tetap pada maknannya yang asli (pada), maka langit dalam ayat di atas bermakna arah yang tinggi. Karena dalam bahasa Arab stiap arah yang tinggi boleh disebut langit13.

 

Redaksi Keenam: Rasulullah r menggunakan redaksi pertanyaan dengan kata: أَيْنَ (dimana?).

Sebagaimana terdapat dalam hadits berikut ini, ketika Rasulullah r menguji keimanan seorang budak perembuan yang hendak dimerdekan oleh tuannya:

فَقَالَ لَهَا « أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ فِى السَّمَاءِ. قَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».

Rasulullah r bertanya kepadanya (budak wanita): dimana Allah? Ia menjawab: di langit. Lalu beliau bertanya lagi: siapa saya? Ia menjawab: engkau adalah rasulullah (utusan Allah). Beliau bersbada: merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman” 14.

Dalam hadits ini terdapat tiga sisi yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw bagi Allah:

      Sisi pertama: Rasululla menggunaka huruf istifham (mengemukan pertanyaan) dengan kata أَيْنَ (dimana?). Pertanyaan tersebut digunakan untuk menanyakan tempat, yang tidak mungkin ditakwil dengan makna-makna lain. Hal ini kesepakatan seluruh pakar bahasa.

      Sisi kedua: Jawaban budak siperempuan dengan kata-kata yang tegas dan jelas: Ia menjawab: di langit. Dan jawaban tersebut tidak disanggah sedikitpun oleh Rasulullah r. Kalau senadainya jawaban tersebut salah, tidak mungkin Rasulullah r diam terhadap kesalahan yang cukup fatal. Rasulullah r tidak pernah metoleril sebuah kesalahan dalam urusah agama apalagi masalah aqidah.

      Sisi ketiga: Rasululull r memberikan penilaian terhadap jawaban budak perempuan tersebut dengan mengatakan: “Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman”.

Hal ini menunjukkan bahwa jawaban budak perempuan tersebut sebagai bukti atas keimanannya. Seandainya budak tersebut menjawab bahwa Allah dimana-mana, tentulah ia akan dianggap belum beriman. Suatu hal yang sangat mengherankan pertanyaan yang bisa dijawab oleh sorang budak perempuan di zaman Rasulullah r tidak bisa jawab oleh sebahagian profesor di zaman moderen ini. Dan yang lebih fata lagi adalah menyalahakan jawaban tersebut, dan menghukum orang-orang yang setuju dengan jawaban tersebut sebagai golongan sesat.

Redaksi ketujuh: Rasulullah r menyebutkan dalam sbadanya nama Allah “Al ‘Aliyyu”, yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi secara mutlak, baik dari segi kedudukan, kekuasaan maupun zat. Sebagaimana sabda Rasulullah r:

))إذا قضى الله في السماء أمرا ضربت الملائكة بأجنحتها خضعانا لقوله كأنه سلسلة على صفوان فإذا فزع عن قلوبهم قالوا ماذا قال ربكم ؟ قالوا الحق وهو العلي الكبير((.

“Apabila memutuskan suatu perkara di langit, para malaikat meletakan sayab-sayab mereka dengan penuh tunduk untuk mendengarkan perkataan Allah, (bunyinya) seakan-akan suara rantai di atas batu. Apabila rasa takut telah hilang dari hati mereka, (sebahagian) mereka berkata: Apa yang wahyukan oleh Rabb kalian? (sebahagian) Mereka mejawab: Al Haq (kebenaran) dan Dia adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar15.

Dalam hadits lain:

عن ابن عباس t: ((أن نبي الله r كان يدعو عند الكرب لا إله إلا الله العلي الحليم …))

“Dari Ibnu Abbas t bahwa Nabi Allah r berdo’a ketika dalam kesulitan: “Tiada yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Lembut ….16.

Nama  Allah “Al ‘Aliyyu”, tidak oleh dibatasi maknanya pada dua sisi saja; yaitu sisi Qadar (kemulian) dan sisi Al Qohar (kekuasaan), akan tetapi mencakup dalam sisi Zat, yaitu bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk. Karena Zat Allah tidak bersentuhan atau tidak bercampur dengan zat makhluk.

 

Redaksi kedelapan: Rasulullah r mengarahkan telunjuknya kearah langit ketika memohon persaksian Allah atas jawaban para sahabat terhadap pertanyan yang beliau lontarkan kepada mereka. Sebagaimana dalam hadits berikut ini:

«وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

”Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan? Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan (risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” 17.

Hadits ini adalah pukulan telak bagi kelompok hululiyah (golongan yang menyatakan bahwa zat Allah berada di mana-mana atau berada di setiap tempat). Karena hadits ini tidak bisa ditakwil dengan makna-makna yang mereka inginkan. Sebab Rasulullah r mengunakan isyarat dengan telunjuk yang diiringi dengan ucapan: “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x”. Dengan maksud: Ya Allah yang berada di atas, saksikanlah jawaban umatku ini.

Dalam hadits ini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang ahli kalam, yang mengharamkan dan melarang mengarahkan telunjuk ke arah atas langit ketika menyatakan tentang Allah.

Redaksi kesembilan: Rasulullah r menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Sebagaimana dalam sabda beliau:

« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ ».

”Rabb kita kita turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berkata: barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku akan Aku perkenankan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni”18.

Kata-kata turun dalam seluruh bahasa umat manusia adalah memiliki arti dari tempat yang lebih tinggi ketempat yang lebih rendah. Kalau seandainya Allah berada di mana-mana dengan zat-Nya maka tentu tidak mungkin disebut turun. Karena kalau Allah berada di setiap tempat, tentu termasuk di langit dunia, langit kedua, ketiga dan seterusnya. Tentu bisa pula dikatankan bahwa Allah juga turun kelangit yang kedua, ketiga dan seterusnya. Ini bukti bahwa Allah berada di arah yang paling tinggi dan tidak berada di setiap tempat dengan zat-Nya.

Perlu dipahami disini, bahwa turunnya Allah tidak sama seperti turunnya makhluk. Karena sifat-sifat Allah tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk. Karena bila makhluk turun dari tingkat yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah, maka posisinya berada dibawah tingkat yang lebih tinggi. adapun Allah ketika turun kelangit dunia tidak berarti bahwa ia berada dibawah langit yang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab Allah senantiasa berada di atas seluruh makhluk walaupun saat turun kelangit dunia, karena sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.

Hadits di atas tidak bisa ditakwil, bahwa yang turun adalah malaikat atau rahmat. Sebab bila ditakwil dengan malaikat atau rahmat, mana mungkin malaikat dan rahmat berkata: “barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku akan Aku perkenankan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni“. Kata-kata tersebut tidak mungkin diucapkan oleh siapapun kecuali Allah semata.

Redaksi kesepuluh: Rasulullah r menyebutkan dalam sabdanya bahwa amal sholeh diangkat naik kepada Allah. Sebagaimana dalam sabda beliau berikut ini:

 ((من تصدق بعدل تمرة من كسب طيب ولا يصعد إلى الله إلا الطيب فإن الله يتقبلها بيمينه ثم يربيها لصاحبها كما يربي أحدكم فلوه حتى تكون مثل الجبل)).

“Barangsiapa yang bersedekah sebesar biji kurma dari usaha yang halal, dan tidak akan diangkat naik kepada Allah kecuali yang baik, maka Allah menerimanya dengan tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kudnya, sehingga ia menjadi seprti gunung”19.

Kata-kata diangkat naik kepada Allah tidak bisa ditakwil dengan diterima, karena setelah itu disebutkan Allah menrimanya dengan tangan kananNya. Kalau kata diangkat naik kepada Allah ditakwil dengan diterima! Hal ini akan memberi cacat pada konteks dan redaksi hadits tersebut. Karena terjadi pengulangan yang tidak ada penambahan dalam makna, hal ini jauh dari kefasihan dalam bahasa Arab. Sedangkan Rasulullah r adalah manusia yang paling fasih dalam bahasa Arab.

Dalam sabda yang lain:

((عن أسامة بن زيد t قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم)). قال الشيخ الألباني : حسن.

Usamah bin Zaid t bertanya kepada Nabi r: Ya Rasulullah aku tidak melihat engkau berpuasa dalam bulan dari bulan-bulan (selain Ramadhan) sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban? Jawab beliau: “Bulan itu banyak dilalaikan oleh manusia, (sebab) berada antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Pada hal di bulan itu amal-amal diangkat naik kepada Robbul’alamin. Maka suka ketika amalku diangkat, aku sedang berpuasa”20.

Dan dalam sabda yang lain:

عن عبد الله بن السائب t : أن رسول الله r كان يصلي أربعا بعد أن تزول الشمس قبل الظهر وقال: ((إنها ساعة تفتح فيها أبواب السماء وأحب أن يصعد لي فيها عمل صالح)). قال الشيخ الألباني : صحيح.

Dari Abdullah bin Saib t bahwa Rasulullah r shalat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum shalat zuhur. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya ia adalah waktu dibukanya pintu langit, dan aku menyukai amal sholehku naik pada saat itu”21.

Kata-kata naik dalam hadits di atas tidak bisa ditakwil dengan makna diterima, karena ia dibatasi dengan waktu tertentu. Sedangkan diterimanya amal sholeh oleh Allah pada setiap saat, tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

Redaksi kesebelas: Rasulullah r mengisahkan tentang perjalanan mi’raj beliau mulia dari langit yang pertama sampai naik ke langit yang ketujuh dan terus naik ke Siratul Muntaha, di sana beliau menerima perintah shalat yang lima waktu secara langsung dari Allah (tanpa melalui malaikat Jibril). Ini adalah dalil sangat kuat dan valid yang menyatakan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana terdapat dalam penggalan hadits tersebut:

« ثُمَّ عَرَجَ بِى حَتَّى ظَهَرْتُ لِمُسْتَوًى أَسْمَعُ فِيهِ صَرِيفَ الأَقْلاَمِ, فَفَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِى خَمْسِينَ صَلاَةً – قَالَ – فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ حَتَّى أَمُرَّ بِمُوسَى فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مَاذَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ – قَالَ – قُلْتُ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسِينَ صَلاَةً. قَالَ لِى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَرَاجِعْ رَبَّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ …».

“Kemudian aku dibawa naik lagi sampai aku mendengar goresan aqlaam (pena-pena). Lalu Allah mewajibkan atas umatku lima puluh shalat. Maka aku kembali sampai aku melewati Musa u. Ia bertanya apa yang diwajubkan Robbmu atas umatmu? Aku jawab: Ia mewajibkan limu puluh shalat atas mereka. Maka musa berkata: kembaliah kepada Robbmu (mohon keringanan) sesungguhnya umatmu tidak mampu melakukan hal itu…”. [ 22. HR. Muslim no (433).]

Kisah isra’ dan mi’raj adalah dalil yang paling valid dalam hal ini, yaitu bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Peristiwa mi’raj adalah merupakan mu’jizat yang agung bagi Nabi r, ketika beliau dipanggil untuk menerima perintah shalat di tempat yang paling mulia yaitu di Siratulmuntaha di atas langit yang tujuh. Kalau ada yang mengatakan bahwa kedekatan Muhammad r dengan Allah saat berada di Siratulmuntaha di atas lengit yang tujuh sama dengan nabi Yunus yang berada dalam perut ikan. Sesungguhnya orang tersebut tidak mengakui keutamaan dan kemulian yang diberikan Allah kepada Rasulullah r.

Suatu hal yang aneh tapi nyata dan amat mengheran kita adalah ketika orang yang sering merayakan peristiwa isra’ dan mi’raj tidak mengakui bahwa Allah berada di arah yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk.

,,,Semoga Allah senantiasa menetapkan kita di atas kebenaran,,,

 


  1. HR. Muslim no (2393).
  2. HR. Abu Daud no (1490) dan Tirmizy no (3556).
  3. Lihat “Subulussalam”: 2/79.
  4. Lihat kisah tersebut dalam “Siyar A’lam Nubalaa’ : 18/475.
  5. HR. Bukhari no (7048) dan Muslim no (1464).
  6. HR. Bukhari no (6045) dan Muslim no (7015).
  7. HR. Muslim no (5053).
  8. HR. Abu Daud no (661) dan Nasa’i no (816).
  9. HR. Bukhary no (4094) dan Muslim no (2500).
  10. HR. Abu Daud no (4943) dan Tirmizy no (1924).
  11. HR. Muslim no (3613).
  12. lihat kitab “Asmaa’ wash shifaat” / Imam Baihaqy: 2/236.
  13. lihat tafsir Ibnu ‘Athiyah: 1/92. Atau edisi sebelumnya (112) , hal: 15 redaksi kelima dari redaksi ayat-ayat tentang ‘Uluw.
  14. HR. Muslim no (1227).
  15. HR. Bukhary no (4424).
  16. HR. Tirmizy no (3435) menurut Tirmizy hadits ini adalah hasan shahih.
  17. HR. Muslim no (3009).
  18. HR. Bukhari no (7056) dan Muslim no (1808).
  19. HR. Bukhari no (6993).
  20. HR. Nasa’i no (2357) dihasankan oleh syeikh Al Baany.
  21. HR. Tirmizi no (478) dishahihkan oleh syeikh Al Baany.

Perkataan Para Ulama Salaf Dari Masa Ke Masa

Yang Menetapkan Sifat ‘Uluw Bagi Allah

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, selawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.

Para pembaca yang dirahmati Allah, pada pembahasan yang lalu telah kita sebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan sifat ‘Uluw (bahwa Allah Maha Tinggi dengan Zat-Nya di atas seluruh makhluk).

Maka pada kesempatan kali ini (bagian ketiga dari bahasan tersebut) kita kemukakan perkataan para ulama salaf dari masa ke masa yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Agar kita mengtahui bagaimana para ulama salaf dalam memahami ayat dan hadits-hadits tentang sifat ‘Uluw yang telah kita sebutkan sebahagiannya pada pembahasan yang lalu. Dimana para generasi Salaf tidak mentakwil nash-nash tersebut menurut akal pikiran mereka semata. Akan tetapi mereka mengimani sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk.

Karena keterbatasan waktu dan begitu banyaknya perkataan mereka yang berkenaan sifat ‘Uluw, maka penulis hanya menyebutkan sebahagian kecil dari perkatan mereka yang berkenaan dengan sifat ‘Uluw tersebut.

Perkataan mereka tersebut akan kita susun berdasarkan tingkatan masa secara umum, kemudian dari setiap masa kita dahulukan yang lebih tua atau yang lebih mulia.

 

Perkataan Para Sahabat

Para sahabat adalah generasi yang beriman dan berjumpa dengan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta meninggal dalam keadaan beriman. Pemahaman dan keyakinan mereka sangat valit kebenarannya karena menrima langsung tentang penjelasan ajaran Islam dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Oleh sebab itu kita diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah untuk berjalan di atas jalan mereka. Pada kesempatan kali ini kita melacak keyakinan dan perkataan-perkataan mereka tentang penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah. Berikut kita sebutkan ungkapan sebahagian diantara mereka:

  1. 1.      Perkataan Abu bakar Shiddiiq Radhiallahu ‘anhu.

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال لما قبض رسول الله دخل أبو بكر رضي الله عنه عليه فأكب عليه وقبل جبهته وقال بأبي أنت وأمي طبت حيا وميتا وقال: ((من كان يعبد محمدا فإن محمدا قد مات ومن كان يعبد الله فإن الله في السماء حي لا يموت)).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Tatkala Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam wafat, Abu Bakar masuk dan mencium kening Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam lalu berkata: “Aku tebus engkau dengan dengan ayah dan ibuku, sungguh amat baik hidup dam matimu. Barangsiapa menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah di langit, lagi Maha Hidup tidak akan mati”[1].

Dalam ungkapan Abu bakar Siddiq Radhiallahu ‘anhu di atas terdapat isyarat dengan jelas bahwa Abu Bakar meyakini bahwa Allah di arah Yang Maha Tinggi di atas langit. Ungkapan ini di dengar oleh para sahabat yang sedang melayat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengingkari ungkapan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat meyakini hal yang sama dengan apa yang diyakini oleh Abu bakar Radhiallahu ‘anhu. Kalau mereka berbeda pendapat tentu akan terdapat riwayat yang menjelaskannya. Ini adalah sebuah indikasi bahwa para sahabat telah sepakat (ijma’) dalam hal mengimani bahwa Allah di atas langit.

  1. 2.      Perkataan Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu

يروى أن عمر رضي الله عنه  لقيته امرأة يقال لها: خولة بنت ثعلبة، وهو يسير مع الناس فاستوقفته فوقف لها، ودنا منها، وأصغى إليها رأسه، حتى قضت حاجتها وانصرفت، فقال له رجل: ياأمير المؤمنين حبست رجالات قريش على هذه العجوز. قال: “ويحك وتدري من هذه؟ قال: لا. قال: هذه امرأة سمع الله شكواها من فوق سبع سموات، هذه خولة بنت ثعلبة، والله لو لم تنصرف عني إلى الليل ماانصرفت عنها حتى تقضي حاجتها إلا أن تحضر صلاة فأصليها ثم أرجع إليها حتى تقضي حاجتها”.

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Umar bin Khtab Radhiallahu ‘anhu bertemu dangan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah. Ketika itu Umar Radhiallahu ‘anhu sedang berjalan bersama para sahabat, ketika wanita tersebut meminta Umar berhenti, maka Umar Radhiallahu ‘anhu berhenti dan menghampirinya serta mendengarkannya dengan seksama, sampai wanita tersebut menyampaikan keperluannya dan pergi. Lalu seseorang berkata kepada Umar Radhiallahu ‘anhu: Wahai Amirul Mukminin! Engkau telah menahan para tokoh Quraisy demi wanita tua tersebut. Umar Radhiallahu ‘anhu menjawab: kenapa engkau! Tahukah kamu siapa wanita tersebut? Ia adalah wanita yang didengar aduannya oleh Allah dari atas langit yang tujuh. Ini adalah Khaulah binti Tsa’labah. Demi Allah! Seandainya ia tidak pergi sampai larut malam, niscaya aku pun tidak akan berpaling darinya samapi ia menyelesaikan keperluannya. Kecuali datang waktu shalat maka aku shalat, kemudian aku akan kembali menemuinya sampai ia menyelasaikan keperluannya”[2].

Dalam riwayat lain diesbutkan:

عن عبد الرحمن بن غنم قال : سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه  يقول : “ويل لديان الارض من ديان السماء يوم يلقونه إلا من أمر بالعدل فقضى بالحق ولم يقض على هوى ولا على قرابة ولا على رغبة ولا رهب وجعل كتاب الله مرآة بين عينيه”.

Berkata Abduraahman bin Ghanim: aku mendengar Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu  berkata; “Kahancuran bagi penguasa bumi dari Pengasa langit (Allah) pada hari ia menjumpai-Nya. Kecuali orang yang menyuruh dengan keadilan dan memberi keputusan dengan kebenaran. Ia tidak memutuskan di atas hawa nafsu, tidak juga diatas hubungan kekeluargaan dan tidak pula kerena mengharab dan takut pada sesuatu. Ia menjadikan kitab Allah sebagai kaca di hadapan dua matanya”[3].

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

لما قدم عمر رضي الله عنه الشام استقبله الناس وهو على بعيره فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم؟ فقال عمر رضي الله عنه: ألا أريكم ههنا إنما الأمر من ههنا فأشار بيده إلى السماء”.

Tatkala Umar Radhiallahu ‘anhu datang dari Syam, para sahabat menyambutnya, lalu mereka berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin seandainya engaku mau mengendarai kereta raja, agar para tokoh dan pemuka masyarakat menyambutmu! Jawab Umar: alangkah baiknya seandainya aku tidak melihat kalian di sini. Sesungguhnya segala urusan dari arah sana, maka ia menunjuk kearah langit[4].

Maksud Umar Radhiallahu ‘anhu adalah bahwa yang mengatur segala urusan adalah Allah yang ada di atas langit. Dua ungkapan Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu yang diriwatakan di atas juga di ucapkan di hadapan para sahabat, namun tidak ada seorangpun yang membantah ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu tersebut. Karena hal itu sudah satu hal yang ma’ruf dan mutlak dalam keimanan mereka.

  1. 3.      Perkataan Usman bin ‘Affan Radhiallahu ‘anhu:

Diriwayatkan behawa Ustman Radhiallahu ‘anhu berkata dalam khutbahnya yang terakhir:

“الحمد لله الذي دنا في علوه وناء في دنوه لا يبلغ شيء مكانه ولا يمتنع عليه شيء أراده”.

“Segala puji bagi Allah yang dekat dalam keMahatinggiannya dan jauh (tinggi) dalam kedekata-Nya. Tiada satupun yang sampai kepada tempat-Nya. Dan tiada satupun yang mampu menghalangi terhadap sesuatu yang diinginkan-Nya”[5].

Kedudukan ungkapan Utsman bin Affan Radhiallahu ‘anhu sama dengan ungkapan Abu Baka dan Umar, ketika ucapan tersebut disampaikan dalam khutbah yang dihadiri oleh seluruh kaum muslim dan para sahabat yang terkemuka. Kalau seandainya Ustman Radhiallahu ‘anhu keliru dalam pernyataanya tentulah akan dibantah oleh para sahabat yang lain. Karena para sahabat tidak pernah mendiamkan sebuah kebatilan apalagi masalah yang amat urgen dalam aqidah.

  1. 4.      Perkataan Abdullah bin Abbbas Radhiallahu ‘anhu.

أن ابن عباس رضي الله عنه  دخل عليها وهي تموت فقال لها: (كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات).

Bahwasanya Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu datang menyenguk ‘Aisyah -saat itu ‘Aisyah dalam keadaan mendekati ajalnya, maka ia berkata kepada ‘Aisyah: “Engkau adalah wanita yang paling dicintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, ia tidak mencintai kecuali yang baik. Dan Allah menurunkan tentang kesucianmu dari atas langit yang tujuh[6].

Dalam riwayat yang lain:

في قوله تعالى {ثُمَّ لَآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ} “قال ابن عباس لم يستطع ان يقول من فوقهم علم أن الله من فوقهم”.

Dalam firman Allah: “Kemudian saya (Iblis) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Ibnu Abbas berkata: Ia (Iblis) tidak mampu mengatakan dari atas mereka, karena ia tahu bahwa Allah berada di atas mereka[7].

  1. 5.       Perkataan Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu.

عن ابن مسعود رضي الله عنه  قال: “الله فوق العرش لا يخفى عليه شيء من أعمالكم”.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Allah berada di atas ‘Arasy, tidak ada yang tersembunyi atas-Nya sedikitpun dari perbuatan-perbuatan kalian”[8].

Dalam riwayat lain disebutkan:

عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال من قال سبحان الله والحمد لله والله أكبر تلقاهن ملك فعرج بهن إلى الله عزوجل فلا يمر بملأ من الملائكة إلا استغفروا لقائلهن”.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: barangsiapa membaca subhaanallah, walhamdulillah, wallahu akbar, malaikat menangkapnya dan membawanya naik kepada Allah ‘azza wajalla maka tidaklah ia melewati sekelompok malaikat  kecuali memohonkan ampun untuk orang yang mengucapkannya”[9].

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: “ما بين السماء الدنيا والتي تليها خمسمائة عام وبين كل سماء مسيرة خمسمائة عام وبين السماء السابعة وبين الكرسي خمسمائة عام، وبين الكرسي وبين الماء خمسمائة عام، والعرش على الماء والله تعالى فوق العرش، وهو يعلم ما أنتم عليه”.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Jarak antara langit dunia denga langit di atasnya lima ratu tahun perjalanan. Jarak antara setiap langit adalah lima ratus tahun perjalanan. Jarak antara langit ke tujuh dengan kursi adalah lima ratus tahun, antara kursi dan dan air lima ratus tahun. ‘Arasy berada di atas air dan Allah di atas ‘Arasy, namun Ia mengetahui apa yang kalian lakukan”[10].

  1. 6.      Perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

قالت عائشة رضي الله عنها: “سبحان الذي وسع سمعه الأصوات كان يخفى عليّ بعض  كلام المجادلة، وسمعه الرب عز وجل وهو فوق سبع سموات”.

Berkata ‘Aisyah radhiallahu ‘aha: “Maha Suci Allah yang Maha Mendengar segala suara, tersembunyia atasku sebaghagian perkataan wanita yang bertanya (kepada Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam), namun Allah mendengarnya dan Ia di atas langit yang tujuh[11].

  1. 7.      Perkatan Zainab radhiallahu ‘anha isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam:

قال أَنس بْن مَالِكٍ رضي الله عنه : كَانَتْ زَيْنََ بِنْتِ جَحْشٍ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِى فِى السَّمَاءِ”.

Berkata Anas Radhiallahu ‘anhu: Zainab binti Jahsy berbangga diatas para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang lain, ia berkata: sesungguhnya Allah menikahku (dengan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) dari langit[12].

Dalam lafazh yang lain ia berkata:

” زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سماوات”.

“Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian masing-masing, sedangkan aku dinikahkan Allah dari atas langit yang tujuh[13].

  1. 8.      Perkataan Malik bin Anas.

عن عبد الله بن نافع قال: قال مالك بن أنس رضي الله عنه: الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء”.

Abdullah bin Nafi’ berkata: berkata Anas bin malik Radhiallahu ‘anhu: “Allah di langit dan ilmu-Nya di setiap tempat, tidak satupun yang luput dari ilmu-Nya”[14].

  1. 9.      Perkataan Abu Zarr Radhiallahu ‘anhu.

عن ابن عباس رضي الله عنهما بلغ أبا ذر مبعث النبي صلى الله عليه وسلم فقال لأخيه: “اعلم لي علم هذا الرجل الذي يزعم أنه يأتيه الخبر من السماء”.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, tatkala samapai kepada Abu Zarr Radhiallahu ‘anhu berita tentang diutusnya Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, ia berkata kepada sudaranya: tolong kamu beritahu aku tentang ilmu laki-laki yang mengaku bahwa ia mendapat berita dari langit[15].

Maksud Abu Zarr Radhiallahu ‘anhu berita dari langit adalah wahyu yang datang dari Allah yang berada di langit.

 

Perkataan Para Tabi’iin Dan Taabi’ Taabi’iin.

Berikutnya kita sebutkan perkataan para taabi’iin dan taabi’ at taabi’iin sebagai bukti bahwa mereka tetap bepegang teguh dengan apa yang dipahami dan diimani oleh para sahabat. Hal tersebut dibuktikan oleh berbagai ungkapan mereka yang sama dan semakna dengan apa yang diucapkan oleh para sahabat. Mereka tidak pernah memutar balikkan pengertian nash-nash yang menerangkan sifat-sifat Allah. Oleh sebab itu mereka termasuk kedalam generasi terbaik umat ini, karena mereka menerima langsung penjelasan tentang ajaran Islam dari generasi yang langsung belajar kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yaitu para sahabat. Berikut kita sebutkan ungkapan sebahagian diantara mereka:

  1. 1.      Perkataan Imam Masruuq.

“كان مسروق اذا حدث عن عائشه رضي الله عنها قال حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله المبرأة من فوق سبع سموات”.

Bila Masruuq meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah radhialhu ‘anha ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Wanita terjujur anak laki-laki terjujur, kekasih dari kekasih Allah, yang disucikan dari atas langit yang tujuh[16].

  1. 2.      Perkataan Imam Qatadah.

قال قتادة: “قالت بنو إسرائيل يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت عنكم استعملت عليكم خياركم وإذا غضبت عليكم استعملت عليكم شراركم”.

Berkata imam Qatadah: orang-orang Bani Istrail berkata: “Ya Allah Engkau di langit, kami di bumi! Bagaimana kami bisa mengenal keridhaanMu dan kemurkaanMu. Kata Allah: apabila Aku meridhai kalian, akan Aku angkat orang-orang baik diantara kalian sebagai pemimpin. Apbila Aku murka, akan Aku angkat orang-orang buruk diantara kalian sebagai pemimpin”[17].

  1. 3.      Perkataan Imam Dhahhaak:

عن الضحاك قال: {مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ} [المجادلة/7] قال: هو الله عز وجل على العرش وعلمه معهم”.

Dari Imam Dhahhaak: Allah berfirman: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya”. Dhahhaak berkata: “Ia adalah Allah di atas ‘Arasy dan ilmu-Nya bersama mereka”[18].

  1. 4.      Perkataan Imam Muqati bin Hayyan.

عن مقاتل بن حيان في قوله تعالى {مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ} قال هو على عرشه وعلمه معهم.

Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan tentang firman Allah: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya”. Muqatil berkata: “Ia (Allah) berada di atas ‘Arasy dan ilmu-Nya bersama mereka”[19].

Dalam riwayat lain:

عن مقاتل بلغنا والله أعلم في قوله عز و جل {هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ} الأول قبل كل شيء والآخر بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما يعني القرب بعلمه وقدرته وهو فوق عرشه {وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [الحديد/3]

Berkata Muqatil dismapaikan kepada kami tentang maksud firman Allah: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin“. Al Awal adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhahir adalah di atas segala sesuatu. Al Baatin adalah dekat dari segala sesuatu, maksudnya adalah dekat dengan ilmu-Nya dan Qutrat-Nya sedangkan Ia (Allah) di atas ‘Arasy. “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”[20].

  1. 5.      Perkataan Imam Auza’i.

عن محمد بن كثير قال: سمعت الأوزاعي يقول: كنا والتابعون متوافرون نقول: إن الله تعالى ذكره فوق عرشه، ونؤمن بما وردت السنة به من صفاته جل وعلا”.

Berkata Muhammad bi Katsiir: aku mendengar Auza’I berkata: “Para Tabi’iin mennyasikkan kami mengatakan: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi berada di atas ‘Arasy, kami beriman dengan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam sunnah”[21].

  1. 6.      Perkataan Abdullah bin Mubaarak.

كان عبد الله بن المبارك يقول نعرف ربنا بأنه فوق سبع سموات على العرش استوى بائن من خلقه ولا نقول كما قالت الجهمية”.

Abdullah bin Mubaarak berkata: “Kita mengenal Robb kita dengan bahwa sesungguhnya Dia (Allah) di atas langit yang tujuh di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya. Kita tidak berpendapat sebagaimana pendapat orang-orang Jahmiyah”[22].

  1. 7.      Perkataan Sulaiman Attaimy.

عن صدقة قال: سمعت سليمان التيمي يقول: (لو سئلت أين الله لقلت في السماء).

Berkata Shadaqah: aku mendengar Sulaiman Attaimy berkata: “Seandainya aku ditanya dimana Allah? Aku katakan: di langit[23].

  1. 8.      Perkataan Abu Hatim Ar Rozy dan Abu Zur’ah Ar Rozy.

عبد الرحمن بن أبي حاتم قال سألت أبي وأبا زرعة رحمهما الله تعالى عن مذهب أهل السنة في أصول الدين وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار وما يعتقدان من ذلك فقالا : أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم أن الله تبارك وتعالى على عرشه بائن من خلقه كما وصف نفسه بلا كيف أحاط بكل شيء علما ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

Berkata Abdurrahman bin Abi Hatim: aku bertanya kepada ayahku (Abu hatim) dan Abu Zur’ah tentang pokok-pokok agama menurut mazhab Ahlussunnah dan dan apa yang diketahui oleh para ulama di suruh negeri? Dan apa yang kamu berdua yakini?. Beliau berdua menjawab: kami mendapati para ulama di seluruh nergeri; Hijaz, Iraq, Mesir, Syam, dan Yaman. Maka di antara mazhab mereka adalah (meyakini) bahwa Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya. Sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, tanpa mempertanyakan tentang bentuk (hakikat sifat tersebut) [24]“.

  1. 9.      Perkataan Ishaq Bin Rahuyah.

قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5] أجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة”.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: Allah berfirman: “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang beristiwaa di atas ‘Arsy“. Para ulama telah bersepakat bahwa sesungguhnya Allah itu beristiwaa di atas ‘Arasy. Dan Ia (Allah) mengetahui segala sesuatu di bawah lapis bumi yang ketujuh” [25].

Perkataan Para Ulama Mazhab Fiqih Yang Empat

Berikut ini kita sebutkan pula perkataan para Imam mazhab fiqih yang emapat. Karena begitu banyak orang yang mengaku mengikuti mereka dalam masalah yang berhubungan dengan hukum fiqih akan tetapi mereka tidak mengikutinya dalam masalah aqidah. Sungguh sangat ironis sekali, yang seharusnya jutsru yang lebih penting adalah mengikutinya dalam masalah aqidah, karena aqidah masalah yang paling urgen dalam agama Islam.

  1. 1.      Perkataan Imam Abu hanifah.

Diriwayatkan bahwa di masa Imam Abu Hanifah ada seorang wanita yang belajar ilmu kalam kepada Jaham pencetus paham Jahmiyah. Lalu wanita tersebut mempengaruhi manusia untuk mengikutinya, sehingga ia memiliki pengekut yang cukup banyak. Lalu wanita tersebut mendatangi Imam Abu hanifah dan berkata kepada Iamam Abu Hanifah: dimana Tuhanmu? Lalu Imam Abu Hanifah menulis jawaban:

“إن الله عزوجل في السماء دون الأرض فقال له رجل أرأيت قول الله عزوجل ( وهو معكم ) قال هو كما تكتب إلى الرجل إني معك وأنت غائب عنه”.

“Sesungguhnya Allah di langit bukan di bumi. Lalu seorang lakik-laki berkata kepadanya: bagaimana dengan firman Allah: “Ia (Allah) bersamamu” ? jawab Imam Abu Hanifah: maksudnya adalah sebagaimana engkau menulis surat kepada seseorang: sesungguhnya aku bersamamu, sedangkau tidak di sampingnya”[26].

Dalam riwayat lain Imam Abu hanifah berkata:

“قال أبو حنيفة: من قال لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقد كفر. وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أو في الأرض. والله تعالى يدعى من أعلى لا من أسفل”.

“Berkata Imam Abu hanifah: “barangsiapa yang berkata: aku tidak tahu tentang Tuhanku apakah Ia di langit atau di bumi! Maka sesungguhnya ia telah kafir. Demikian pula orang yang berkata: bahwa Ia di atas ‘Arasy, namun aku tidak tahu apakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. Memohon kepada Allah kearah atas, tidak memohon kearah bawah”[27].

Maksud dari ungkapan Imam Abu hanifah di atas adalah bila ada orang yang tidak mengetahui bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Demikian pula orang yang tidak mengatahui tentang posisi ‘Arasy sebagai makhluk yang tertinggi, karena hal tersebut berhubungan dengan mengimani sifat Istiwaa bagi Allah di atas ‘Arasy.

  1. 2.      Perkataan Imam Malik.

عن عبد الله بن نافع قال: قال مالك بن أنس رحمه الله : « الله عز وجل في السماء ، وعلمه في كل مكان ، لا يخلو من علمه مكان »

Berkata Abdullah bin nafi’: Imam Malik berkata: “Allah ‘azza wajalla di langit dan ilmu-Nya di setiap tempat, tiada satu tempatpun yang luput dari ilmu-Nya”[28].

  1. 3.      Perkataan Imam Syafi’i.

قال الإمام محمد بن إدريس الشافعي رحمه الله تعالى: “القول في السنة التي أنا عليها ورأيت عليها الذين رأيتهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأن الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وينـزل إلى السماء الدنيا كيف شاء”.

Berkata Imam Syafi’i: “Perkataan tentang sunnah yang aku berada di atasnya dan aku lihat di atasnya orang-orang aku jumpai seperti Sufyan, Malik dan lainnya; mengakui persaksian bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy di atas langit. Ia mendekati hamba-Nya sesuai cara yang Ia kehendaki dan ia turun kelangit dunia sesuai cara yang Ia kehendaki”[29].

  1. 4.      Perkataan Imam Ahmad bin Hambal.

قال يوسف بن موسى البغدادي: قيل لأبي عبد الله أحمد بن حنبل: «الله عز وجل، فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه في كل مكان؟. قال: نعم على العرش، وعلمه لا يخلو منه مكان»

Berkata Yusuf bin Musa: dikatakan kepada Imam Ahmad: “Allah di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arasy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Qudrat dan ilmu-Nya di setiap tempat? Jawab Imam Ahmad: Ya di atas ‘Arasy, dan ilmu-Nya tidak satupun tempat yang tersembunyi darinya”[30].

Perkataan Abul Hasan Al Asy’ary

Terakhir kita kemukan pandangan Abu hasan Al Asy’ary, sebagai hujjah atas orang-orang Asy ‘ariyah yang mengaku mengikuti aqidahnya. Imam Abul Hasan Al Asy’ary berulang kali menegaskan dalam berbagai karya beliau tentang maslah ini. Dimana beliau meyakini bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy di atas langit yang ketujuh. Berbeda dengan golongan Asy ‘Ariyah, kelompok yang menisbahkan diri kepada beliau, dimana mereka meyakini bahwa Allah berada di mana-mana dengan Zat-Nya, bercampur baur dengan makhluk. Sesungguhnya apa yang mereka nisbahakan kepada Abul hasan Al Asy’ary adalah sebuah kedustaan dan kebohongan demi menutupi kesesatan yang mereka yakini.

Berkata Imam Abul Hasan Al ‘Asy’ary dalam kitabnya “Risalah Ila Ahli Tsaghar[31]:

“وأنه تعالى فوق سمواته على عرشه دون أرضه وقد دل على ذلك بقوله {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ} [الملك/16] وقال {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ} [فاطر/10]”

Bahwa sesungguhnya Allah ta’ala dai atas segala langit di atas ‘Arasy, bukan di bumi. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu“. Dan firman-Nya: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baikdan amal yang saleh dinaikkan-Nya”.

Kemudian beliau menjelaskan pula dalam kitab beliau “Maqaalaat Islamiyiin[32]” tentang perkataan Ahli hadits dan Ahlussunnah:

“جملة ما عليه أهل الحديث والسنة والاقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وما جاء من عند الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم … وأن الله سبحانه على عرشه كما قال “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى [طه/5]”.

“Pokok-pokok keyakinan Ahlul Hadits dan Sunnah, yaitu; beriman dengan Allah, kepada para malaikat, kitab-kitab suci, kepada para rasul, dan segala apa yang datang dari Allah serta apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang tsiqoh (terpercaya) dari Raulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam …dan bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy sebgaimana firman-Nya: “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang beristiwaa di atas ‘Arsy”.

Sebahagian orang mencoba mengingkari perkataannya tersebut dari Imam Abul Hasan Al Asy’ary pada hal Ibnu ‘Asaakir menukil perkataan yang sama dalam kitabnya “Tabyiin Kazbil Muftary[33]“. Disini Ibnu ‘Asakir ingin membutikan kedustaan orang yang berbuat bohong atas nama Abul Hasan Al Asy’ary.

Demikian pula beliau nyatakan dalam kitab beliau “Al Ibaanah” yang sebahagian besar kandungannya di nukil oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya “Tabyiin Kazbil Muftary[34]” termasuk bagian yang menyatakan tentang masalah Istiwaa Allah di atas ‘Arasy. Bahkan dalam kitab “Al Ibaanah” beliau kemukakan dalil-dalil tentang Istiwaa dan ‘Uluw yang lebih banyak lagi. Berikut ini nukilan dari kitab “Al Ibaanah”[35]:

((الباب السابع ذكر الاستواء على العرش)) إن قال قائل: ما تقولون في الاستواء ؟ قيل له: نقول: إن الله عز و جل يستوي على عرشه استواء يليق به كما قال: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5] وقد قال تعالى : {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ} [فاطر/10] وقال تعالى : {بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ} [النساء/158] وقال تعالى : {يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ} [السجدة/5] وقال تعالى حاكيا عن فرعون لعنه الله : {يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا} [غافر/36، 37] كذّب [فرعون نبي الله] موسى عليه السلام في قوله: إن الله سبحانه فوق السماوات.

وقال تعالى : {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ} [الملك/16]

 فالسماوات فوقها العرش فلما كان العرش فوق السماوات قال : {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ} لأنه مستو على العرش الذي فوق السماوات وكل ما علا فهو سماء والعرش أعلى السماوات وليس إذا قال: {أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ} يعني جميع السماوات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السماوات …

ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم إذا دعوا نحو السماء لأن الله تعالى مستو على العرش الذي هو فوق السماوات فلولا أن الله عز و جل على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش، كما لا يحطونها إذا دعوا إلى الأرض.

“Bab Yang Ketujuh: Penjelasan Istiwaa di atas ‘Arasy.

“Jika ada yang bertanya: bagaimana pendapat kamu tentang Istiwaa? Jawaban untuknya: Sesungguhnya Allah beristiwaa di atas ‘Arasy, yaitu Istiwaa yang sesuai dengan (keagungan)-Nya. Sebagaimana Allah berfirman: “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang beristiwaa di atas ‘Arsy”. Dan firman-Nya: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baikdan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. Dan firman-Nya: “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“. Dan firman-Nya: “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya“. Dan Allah menceritakan tentang Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta“. Fir’aun ingin tidak mempercayai nabi Allah Musa u dalam ungkapannya: sesungguhnya Allah di atas seluruh langit.

Allah berfirman: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu“.

Di atas semua langit adalah ‘Arasy. Tatkala ‘Arasy di atas semua langit, Allah berfirman: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit“. Karena Allah beristiwaa di atas ‘Arasy yang di atas semua langit. Setiap arah yang tinggi disebut langit, ‘Arasy adalah langit yang paling tinggi. Bukalah maksud dari firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”. Yaitu semua langit, akan tetapi maksud-Nya adalah ‘Arasy yang lebih tinggi di atas semua langit…

Dan kita juga menyasikan seluruh kaum muslimin mengangkat tanganya apabila berdo’a ke arah langit, karena Allah beristiwaa di atas ‘Arasy yang di atas seluruh langit. Jika seandanya Allah tidak di atas ‘Arasy niscaya mereka tidak akan mengakat tangannya ke arah ‘Arasy. demikian pula mereka tidak pernah ketika mereka berdo’a meletakkan tangannya ke bumi.

Apakah orang-orang Asya’irah akan tetap memilih kesombongan dari pada mengikuti petunjuk yang telah jelas bagaikan matahari disiang bolong!

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:     «الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ ». رواه مسلم.

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”[36].

Ya Allah berilah petunjuk siapa saja dianatara kami yang tergelincir dari kebenaran. Sesungguhnya Engakau menunjukki siapa yang Engkau kehendaki dan menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki.


[1]  Lihat: “Itsbat shifatil ‘Uluw”/Ibnu Qudamah: 148, dan “Ijtimaa’ Al Juyusy Al Islamiyah/Ibnul Qoyyim: 118.

[2]  Lihat: “Itsbat shifatil ‘Uluw”/Ibnu Qudamah: 149, dan “Ijtimaa’ Al Juyusy Al Islamiyah/Ibnul Qoyyim: 120.

[3]  Lihat: “Mukhtashar Al’Uluw”/Dzahaby, hal: 75.

[4]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[5]  Lihat: “Ar Raddu ‘Allal Jahmiyah”/Daarimiy: 58.

[6]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[7]  Lihat: “Itsbat shifatil ‘Uluw”/Ibnu Qudamah: 106, dan “Ijtimaa’ Al Juyusy Al Islamiyah/Ibnul Qoyyim: 124.

[8]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[9]  Lihat: “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 79.

[10]  Lihat: “Ar raddu ‘Alal Jahmiyah”/Darimy: 55, dan “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 45.

[11]  Lihat: “kitab Tauhid”/Ibnu Khuzaimah: 1/107, dan “Al Hujjah”/ Al Ashfahaany: 1/198.

[12]  Lihat: “Shahih Bukhari”: 6/2700.

[13]  Lihat: “Shahih Bukhari”: 6/2699.

[14]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[15]  Lihat: “Sahih Bukhary”: 6/2701.

[16]  Lihat: “Itsbat Shifatil ‘Uluw”/Ibnu Qudamah: 110, dan “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 121-122.

[17]  Lihat: “Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah/Darimy: 59, dan “Mukhtashar Al ‘Uluw”: 75.

[18]  Lihat: “Al Asmaa was Shifaat/Baihaqy: 2/447 .

[19]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75 .

[20]  Lihat: “Al Asmaa was Shifaat”/Baihaqy: 2/342 .

[21]  Lihat: “Al Asmaa was Shifaat/Baihaqy: 2/408 .

[22]  Lihat: “Ar Raddu ‘Al jahmiyah”/Darimy: 47, dan “Al Asmaa was Shifaat/Baihaqy: 2/440.

[23]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[24]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75.

[25]  Lihat: “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 179.

[26]  Lihat: “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 134, dan “Al Asmaa was Shifaat”/Baihaqy: 2/442.

[27]  Lihat: “Al Fiqhul Akbar”/Abu HAnifah: 135.

[28]  Lihat: “Asy Syari’ah”/ Al Ajurry, no (651), (652), dan “Syarah Ushul I’tiqaad”/ Al Laa lakaai, no (516).

[29]  Lihat: “Istbat Sifatil ‘Uluw”/ Ibnu Qudamah: 124, dan “Al ‘Uluw”/Dzahaby: 165.

[30]  Lihat: “Mukhtashar Al ‘Uluw”/Dzahaby: 75, dan “Syarah Ushul I’tiqaad”/ Al Laa lakaai, no (517).

[31]  Lihat: Hal: 130.

[32]  Lihat: Hal: 345.

[33]  Lihat: Hal: 158.

[34]  Lihat: Hal: 158.

[35]  Lihat: Hal: 97-98.

[36]  HR. Muslim no (275).

Dalil Akal, Fitrah Dan Ijma’ Tentang Sifat ‘Uluw Bagi Allah

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, selawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.

Para pembaca yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini kita akan lanjutkan pembahasan seputar dalil-dalil tentang sifat ‘Uluw bagi Allah (Maha Tinggi dengan Zat-Nya di atas seluruh makhluk).

Bahasan ini akan terbagi pada Tiga bagian:

Bagaian Pertama: Dalil Akal (Nalar/Rasio) tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian Kedua: Dalil Fitrah (Naluri) tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.

Bagian Ketiga: Dalil Ijma’ tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.

Dalil Akal (Logika/Nalar/Rasio) Tentang sifat ‘Uluw Bagi Allah

 

Penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah, yakni bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk juga ditunjukkan kebenarannya oleh akal sehat, atau dikenal dengan istilah logika, nalar atau rasio.

Secara nalar (logika/ akal) yang sehat, yaitu nalar yang belum tercemar oleh polusi ilmu kalam dan filsafat, niscaya dengan sangat mudah ia mempercayai bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Karena setiap orang yang berakal mengakui bahwa tempat yang tinggi adalah lebih mulia dari tempat yang rendah (di bawah). Hal ini tidak ada seorang pun dari makhluk yang menolaknya. Maka yang layak untuk dinisbahkan kepada Allah adalah hal yang mulia bukan yang hina, karena Allah Maha Mulia lagi Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya. Oleh sebab itu kesimpulan logika menyatakan bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, tidak ada satupun makhluk yang sama tinggi apalagi lebih tinggi dari Allah.

Berikut ini kita kutip beberapa penjelasan ulama tentang dalil logika, nalar atau rasio dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.

Diantara dalil logika akal yang sering disebutkan ulama tentang sifat ‘Uluw adalah sebagaimana berikut:

Pertama: Sifat ‘Uluw (keMahaTinggian Zat Allah) adalah sifat yang menunjukkan akan keMahaSempurnaan Allah. Sedangkan lawan dari sifat ‘Uluw adalah sifat suful (bawah) adalah sifat yang menunjukkan akan kekurangan. Maka yang layak bagi Allah adalah sifat yang menunjukkan akan kesempurnaan, karena Allah Mahasuci dari segala sifat yang kurang. Maka sifat ‘Uluw adalah sifat yang menunjukkan kesesmpurnaan Allah.

Kedua: Dua zat yang diakui wujudnya tidak terlepas dari dua kemungkinan. Adakalnya keduanya saling menyatu dengan yang lain, atau keduanya saling terpisah. Sedang wujud Allah tidak akan mungkin bersatu dengan wujud makhluk, maka zat Allah terpisah dari zat makhluk. Jika demikian halnya, tentu Allah memiliki posisi tempat yang jauh lebih mulia dari makhluk karena zat Allah tidak bercampur dengan zat makhluk. Posisi yang amat mulia adalah posisi yang amat tinggi (‘Uluw). Maka kesimpulannya adalah zat Allah berada di atas seluruh zat makhluk. Karena kalau zat Allah berada di mana-mana berarti zat Allah bercampur baur dengan seluruh zat makhluk. Keyakinan ini melazimkan zat Allah berada tempat-tempat yang hina dan kotor sekalipun. Sedangkan Allah MahaSuci dari segala hal yang hina dan kotor.

Ketiga: saat Allah menciptakan alam ini ada beberapa kemungkinan:

  1. Kemungkinana pertama: Allah menciptakan alam beserta segala isinya dalam zat-Nya.
  2. Kemungkinan kedua: Allah menciptakan alam beserta segala isinya di luar zat-Nya kemudian setelah alam tercipta Allah masuk ke dalamnya (menjadikan alam sebagai tempat-Nya).
  3. Kemungkinan ketiga: Allah menciptakan alam di luar zat-Nya kemudian setelah alam tersebut tercipta Allah tidak masuk ke dalamnya (tidak menjadikan alam sebagai tempat-Nya).

Kemungkinan yang pertama adalah batil menurut akal sehat, karena jika Allah menciptakan makhluk dalam zat-Nya melazimkan zat Allah sebagai tempat bagi makhluk yang penuh dengan berbagai aib dan kekurangan, sebab diantara makhluk ada yang keji dan hina. Apakah mungkin hal-hal yang kotor dan keji berada dalam zat Allah. Sedangkan Allah Mahasuci dari segala hal yang kotor dan hina.

Kemungkinan yang kedua juga batil menurut akal sehat, sebab jika Allah masuk ke dalam makhluk (alam) setelah Allah menciptakannya dan  Allah berada dimana-mana, hal ini melazimkan bahwa Allah lebih kecil dari makhluk, dan Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan keji. Sedangkan Allah adalah Mahabesar lagi Mahasuci dari segala hal yang kotor dan keji.

Kemungkinan yang ketiga adalah kemungkinan yang sangat masuk akal dan sesuai dengan dengan keMahaAgungan dan keMahaMulian serta keMahaBesaran Allah itu sendiri. Bahwa Allah menciptakan alam beserta segala isinya di luar zat-Nya. Dan Allah tidak masuk kedalamnya setelah alam tersebut tercipta.

Lalu timbul pertanyaan berikut: dimanakah posisi alam (makhluk) ketika Allah menciptakannya? Maka jawabannya ada tiga kemungkinan pula:

  1. Jawaban pertama: Allah menciptakan alam (makhluk) dengan posisi lebih tinggi dari Allah, dengan kata lain bahwa makhluk (alam) lebih tinggi dari Allah dan Allah berada di bawah makhluk.
  2. Jawaban kedua: Allah menciptakan makhluk dengan posisi sama tinggi dengan Allah, maka Allah dan mahkluk (alam) berada pada posisi yang sama tinggi.
  3. Jawaban ketiga: Allah menciptakan makhluk (alam) dengan posisi lebih rendah dari Allah, seluruh makhluk berada di bawah Allah dan Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.

Jawaban yang pertama adalah batil, sebab jika Allah menciptakan alam (makhluk) dengan posisi lebih tinggi dari Allah, dengan kata lain bahwa makhluk (alam) lebih tinggi dari Allah dan Allah berada di bawah makhluk, berarti Allah bersifat tidak sempurna (kurang).

Demikian  pula jawaban kedua juga batil, karena jika Allah menciptakan makhluk dengan posisi sama tinggi dengan Allah, maka Allah dan mahkluk (alam) berada pada posisi yang sama tinggi, berarti Allah tidak memiliki kesepurnaan yang melebihi seluruh makhluk-Nya.

Maka jawaban yang sesuai dengan keMahaagungan dan keMahamulian serta keMahatinggian Allah adalah jawaban yang ketiga. Karena sifat keMahatinggian adalah sifat yang mutlak bagi Allah, baik zat-Nya maupun sifat-Nya, hal tersebut adalah kelaziman dari keagungan dan kemulian zat Allah.

Maka melalui paparan di atas dapat kita simpulkan, bahwa zat Allah adalah terpisah dari seluruh zat makhluk dan zat Allah adalah Mahatinggi di atas seluruh zat makhluk. Tidak ada satupun dari makhluk yang menyamai ketingian zat Allah, apalagi melebihi ketinggian zat Allah.

 

Dalil Fitrah (Naluri) Tentang Sifat ‘Uluw Bagi Allah

 

Secara naluri atau fitrah semua makhluk meyakini bahwa Allah berada di atas mereka. Maka oleh sebab itu ketika mereka berdo’a merasakan dalam sanubari hati mereka meminta kearah atas, lalu diiringi oleh gerakan mengangkat tangan kearah atas. Karena hal tersebut sudah tertancap tajam secara naluri atau fitrah dalam sanubari hati mereka, tanpa perlu melaui proses penelitian dan pendidikan. Masing-masing kita merasakan akan hal tersebut saat kita berdo’a kepada Allah, dimana mata hati kita tidak menoleh ke kiri dan ke kanan atau ke depan dan belakang, akan tetapi kita memohon kepada Zat Yang Maha Mulia di atas kita.

Hujjah yang serupa pernah dikemukan oleh imam Abu Ja’far Al hamadaany ketika berdiskusi dengan ustadz Abul Ma’aly Al Juwainy dalam sebuah majlis. Saat itu Abul Ma’aly Al Juwainy menyampaikan dalam ceramahnya bahwa Allah tidak memiliki tempat tertentu, seketika itu Abu Ja’far seakan-akan bertanya kepadanya: wahai guruku! Bagaimana cara kita melawan perasaan yang timbul dalam hati saat kita berdo’a!? Hati kita selalu menatap dan meminta dari Zat yang berada di atas kita!? Pertanyaan tersebut membuat Abul Ma’aly bingung untuk menjawabnya karena ia juga merasakan hal yang serupa saat berdo’a dan ia tidak mampu untuk menepis dan menolak perasaan tersebut. Lalu ia turun dari kursinya sambil berkata: Al Hamadany telah membuatku bingung, Al Hamadany telah membuatku bingung, ia mengulang perkataan tersebut beberapa kali[1].

Dalil ini juga diungkapkan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ary ketika beliau menyebutkan hujjah-hujjah tentang istiwaa’ Allah dalam kitab beliau “Ibanah”: “Kita melihat kaum muslimin seluruhnya mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika berdo’a kearah lengit. Karena Allah beristiwaa’ di atas ‘arasy yang di atas seluruh langit. Jika seandainya Allah tidak di atas ‘Arasy, niscaya mereka tidak mengangkat kedua tangan mereka ke arah ‘Arasy, sebagimana mereka tidak mengarahkan kedua tangan mereka ke arah bumi[2].

Bagaimana jawaban terhadap orang yang mengatakan: bahwa mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a adalah karena langit kiblat do’a, bukan karena Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.

Perkataan tersebut adalah batil, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada berikut ini:

Pertama:  Tidak ada dalil, baik dari ayat Al Qur’an maupun hadits Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam demikian pula perkatan dari ulama salaf yang menyatakan bahwa kiblat do’a adalah langit.

Kedua:  Menurut penjelasan para ulama yang menerangkan tentang adab-adab berdo’a, bahwa kita disunnah menghadap kiblat ketika berdo’a, yaitu dengan menghadapkan wajah kita kearah kiblat sambil mengangkat tangan ke langit. Jadi tidak ada perbedaan antara kiblat waktu berdo’a dengan kiblat waktu sholat yaitu menghadap ka’bah yang mulia. Sebagaimana Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam berdo’a dalam bebrbagai kesempatan beliau selalu menghadap kiblat. Barang siapa yang membedakan anatara kiblat do’a dengan kiblat sholat, maka ia telah menyalahi kesepakatan umat Islam tentang kiblat do’a .

Ketiga: Yang disebut kiblat adalah mengarahkan wajah ke arah ka’bah yang mulia, sebagaiamana diwajibkan ketika sholat dan dianjurkan ketika berzikir, membaca Al Qur’an ataupun ketika berdo’a. Adapun posisi arah telapak tangan yang di arahkan ke atas langit saat berdo’a tidak pernah disebut kiblat dalam bahasa umat manapun.

Keempat: Kalau seandainya langit adalah kiblat do’a, tentu kita dianjurkan untuk mengarahkan wajah kita kelangit saat berdo’a. Namun hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama.

Kelima: Kiblat adalah perkara yang bisa berubah (berpindah) arahnya, sebagaimana berpindanya arah kiblat pertama dari Baitul maqdis di Palestina ke Ka’bah yang mulia di Makkah Al Mukarromah. Sedang mengarahkan dan membuka telapak tangan ke arah atas (langiat) saat berdo’a adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam fitrah  sanubari setiap manusia yang tidak mungkin untuk dirobah sama sekali.

Keenam: Seseorang yang sedang mengahadap ke qiblat mengetahui bahwa Allah tidak berada di dalam atau dekat Ka’bah tersebut. Berbeda dengan perasaan seseorang yang sedang berdo’a sesungguhnya ia merasakan dalam hatinya bahwa ia sedang menghadap Allah dan ia berharapkan agar diturunkan rahmat dari sisi Allah yang berada di atas seluruh makhluk, oleh sebab itu ia membuka kedua telapak tangannya kepada Allah.

Ketujuh: Demikian pula saat seseorang bersujud dalam sholat, ia merasakan dalam hatinya bahwa Allah berada pada arah yang Maha Tinggi. Tidak pernah terbetik dalam hati orang yang bersujud bahwa Allah berada di bumi tempat ia meletakkan muka dan keningnya[3].

Dalil Ijma’ tentang sifat ‘Uluw bagi Allah

 

Diantara para ulama yang mengemukakan tentang ijma’ (kesepakan) para ulama tentang keMahaTinggian Zat Allah yang Maha Kuasa adalah:

  1. Imam Al Auza’i, beliau adalah seorang ulama Ahlussunnah yang Masyhur dari negeri Syam yang hidup pada abad kedua hijriyan, wafat th 157 H. Beliau berjumpa dan berguru dengan para ulama-ulama tabi’iin. Beliau menyatakan bahwa ulama pada zaman beliau di hadapan para tabi’iin mengatakan: “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arasy-Nya, dan kami beriman dengan apa yang terdapat dalam sunnah tentang sifat-sifat Allah”[4].

Dapat kita pahami dari ungkapan imam Al Auza’i tersebut bahwa para ulama tabi’iin dan tabi’ taabi’in mempercayai Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, namun tidak ada seorang pun diantara mereka menolak atau mengingkari hal tersebut ini menunjukkan ijma’ (kesepakatan) tentang mengimani perkara tersebut.

  1. Imam Abu Hatim Ar Rozy (195-277H) dan Imam Abu Zur’ah Ar Rozy (200-264H) keduanya adalah dua tokoh ulama Ahlussunnah yang sangat masyhur. Beliau berdua menyatakan dalam sebuah buku yang beliau tulis berdua tentang aqidah beliau berdua “Ashlus Sunnah“: “Telah ijma’ (sepakat) seluruh para ulama Islam di seluruh penjuru negeri; baik di Hijaz, Iraq, Mesir dll, dalam mengimani segala sifat-sifat Allah, bahwasanya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya sedangkan ilmu-Nya meliputi semua tempat”[5].
  2. Ibnu Baththoh Al ‘Ukbury (304-387H), menyatakan tentang ijma’ para ulama dalam karya beliau yang monumental tentang aqidah Ahlussnnah “Al Ibaanah“: “Kaum muslimin dari kalangan para sahabat dan tabi’iin serta seluruh ulama dari kaum mukminin telah ijma’ (sepakat) bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya dan ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk”[6].
  3. Abu Umar Ath Tholamangky (340-429H), beliau adalah salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka dari pengikut mazhab Al Maliky, menyatakan: “Sungguh kaum muslimin dari kalangan Ahlussunnah telah ijma’ (sepakat) bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari seluruh makhluk-Nya, Allah MahaTinggi dari prasangka orang-orang yang sesat”[7].
  4. Abul Qosim Al Ashfahany Asy Syafi’i (457–535H), beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan pengikut mazhab imam Syafi’i menyebutkan dalam karya beliau yang monumental tentang aqidah Ahlussunnah “Al Hujjah fi bayan Al Mahajjah: “Telah ijma’ (sepakat) seluruh kaum muslimin bahwa Allah Maha Tinggi dengan setinggi-tingginya, sebagaimana hal itu telah disebutkan Al Qur’an (سبح اسم ربك الأعلى) “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi” mereka (orang-orang Jahmiyah) mengira makna ayat tersebut hanya sebatas Maha Tinggi dalam keputusan-Nya saja, tidak mencakup Maha Tinggi Zat-Nya. Sedangkan menurut kaum muslimin Allah itu Maha Tinggi dalam segala segi, karena sifat ‘Uluw adalah sifat yang terpuji, maka oleh sebab itu Allah MahaTinggi zat-Nya, MahaTinggi dalam segala sifat-Nya dan MahaTinggi dalam segala keputusan-Nya”[8].
  5. Ibnu Qudamah Al Maqdisy (541-620H), beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari pengikut mazhab hambaly, menyatakan dalam karya beliau “Itsbat Shifatil ‘Uluw” yang khusus membahas tentang hujjah-hujjah aqidah Ahlussunnah tentang sifat ‘Uluw bagi Allah: “Sesungguhnya Allah menetapkan bagi diri-Nya memiliki sifat ‘Uluw (MahaTinggi) di atas langit, hal itu juga ditegaskan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam penutup segala nabi-nabi. Demikian pula seluruh ulama dari semenjak masa sahabat sampai para ulama dari kalangan para fuqohaa’ telah berijma’ (sepakat) atas hal tersebut[9].
  6. Syeikh Islam Ibnu Taimiyah (661-728H), beliua sudah tidak asing lagi oleh segenap Ahlussunnah di seluruh pelosok dunia. Keluasan ilmu beliau diakui oleh kawan dan lawan, menyatakan: “Tentang sifat ‘Uluw (keMahaTinggian Zat Allah di atas seluruh makhluk) telah disepakati oleh umat manusia seluruhnya, baik yang muslim maupun yang kafir. Takala nabi Musa ‘Alaihis Salam mengajak Fir’aun untuk beriman, firmaun berkata kepada Haman (perdana menteri Fir’aun):

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا [غافر/36، 37]

“Fir’aun berkata: wahai Haman! Tolong bangunkan untukku sebuah bangunan yang itnggi supaya aku sampai kepintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya sebagai seorang pendusta”.

Fir’aun tidak mencari Allah ke kanan ataupun ke kiri, Tidak kebelakang dan tidak pula kedepan. Akan tetapi ia mencari ke arah atas, hal ini menunjukkan bahwa pengakuan tentang Allah berada di atas seluruh makhluk telah tertanam dalam sanubari setiap makhluk, sekalipun binatang melatah”.

Dalam ayat di atas ada dua kesimpulan:

Pertama: Fir’aun mengetahui tentang prihal bahwa Allah di atas seluruh makhluk tersebut melalui nabi Musa ‘Alaihis Salam secara langsung, lalu fir’aun menuduh nabi Musa ‘Alaihis Salam berdusta dalam hal tersebut. Maka orang yang mengingkari Allah berada di atas seluruh makhluk adalah mengikuti mazhab fir’aun ketika mendustakan nabi Musa ‘Alaihis Salam yang mengajaknya untuk beriman kepada Allah yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.

Kedua: Fir’aun mengetahui tentang prihal bahwa Allah di atas seluruh makhluk tersebut dengan naluri yang ada dalam hatinya. Lalu rasa sombong membuatnya mendustakan apa yang terdapat dalam nalurinya tersebut. Agar dengan demikian ia dapat menolak seruan nabi Musa ‘Alaihis Salam yang mengajaknya untuk beriman kepada Allah.

Demikianlah hujjah-hujjah yang menjelaskan tentang penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang kupas dalam beberpa edisi dalam majalah kita ini. Mulai dari ayat-ayat Al Qur’an, Hadits-hadits nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, perkataan para sahabat dan para ulama sepanjang masa, dalil logika, dalil fitrah (hati nurani) manusia dan Ijma’ para ulama sepanjang zaman.

Insya Allah pada bahasan berikutnya akan kita kupas tentang bantahan terhadap argumentasi para penetang Ahlussunnah dalam masalah ini.

 

 


([1]) Kisah tersebut banyak dinukil oleh para ulama, lihat: “Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah”: 4/44, 61, “Tafsir al Alusy”: 7/115, “Kasyfu Zhunun”: 1/78, dll.

 

 

 

([2])Lihat ‘Al Ibanah”: 97-98.

 

 

 

([3])Lihat penjelasan ini dalam kitab “Syarah Aqidah Thohawiyah” oleh Syeikh Abdul ‘Aziz Ar Rajhy: 1/205.

 

 

 

([4]) diriwayatkan oleh imam Lalaakaa’i dalam “Syarah ushul I’tiqad Ahlussunnah”: 4/401, dan imam Baihaqy dalam “As Asmaa’ wash Shifaat”: 2/304.

 

 

 

([5]) Lihat ‘Ashlus Sunnah”: 37-43, dan diriwayatkan oleh imam Lalaakaa’i dalam “Syarah ushul I’tiqad Ahlussunnah”: 1/176-182.

([6]) Lihat “Al Ibaanah”: 3/136.

([7])Dinukil oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ Fatawa”: 5/501.

 ([8]) Lihat ‘Al Hujjah fi bayan Al Mahajjah”: 2/117.

 ([9]) Lihat ‘Itsbat Shifati ‘Uluw”: 63.

Sumber: http://dzikra.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s